JAKARTA, KOMPAS.TV - Muhammad Afrilian, seorang warga Sukabumi, Jawa Barat diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di luar negeri. Afrilian merupakan satu dari 20 warga negara Indonesia (WNI) yang diduga disekap, disiksa, dan dipaksa kerja tanpa dibayar di Myanmar.
Keluarga ke-20 WNI tersebut telah melaporkan kasus ini ke pemerintah dengan didampingi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pada 31 Maret 2023 lalu. Namun, hingga berita ini diturunkan, keluarga korban mengaku belum ada kejelasan progres dari pemerintah.
Para WNI itu diimingi-imingi kerja di Bangkok, Thailand dengan gaji Rp8-10 juta per bulan. Namun, mereka justru diselundupkan ke Myanmar yang kini tengah dilanda perang saudara dengan kawalan orang bersenjata.
SBMI menyebut para korban dipaksa bekerja sebagai pencari target penipuan berskema kripto tanpa dibayar. Korban juga disebut kerap mengalami siksaan dari pelaku, bahkan hingga disetrum dan mengalami kekerasan seksual.
Baca Juga: Daftar Jaringan TPPO Sudah Dikantongi, Mahfud MD: Harus Kita Tindak
Ema Ulfatul Hilmiah, istri Muhammad Afrilian, menyebut suaminya tertipu lowongan yang direferensikan sebuah lembaga pelatihan kerja (LPK) swasta di Sukabumi.
Ema pun mengaku sudah tidak bisa berkomunikasi dengan suaminya di Myanmar. Pelaku disebut menyita ponsel para korban WNI untuk membatasi komunikasi.
“Sebelumnya masih bisa berkomunikasi, tapi dari Senin kemarin suami saya sudah disekap oleh perusahaan, dibawa ke ruangan gelap. Dari Senin kemarin suami saya sudah tidak ada lagi memberikan kabar,” kata Ema kepada Kompas.tv, Rabu (26/4/2023) malam.
Ema menuturkan, suaminya sejak awal berniat menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) dengan tujuan awal ke Arab Saudi pada 2020 silam. Setelah pandemi Covid-19 mereda, Afrilian mendaftar ke sebuah LPK swasta di Sukabumi dan diberi pelatihan sebagai pelayan (waiter) dan barista.
Sebelumnya, Afrilian bekerja di tempat usaha mebel, lalu keluar dan menjadi ojek online (ojol). Namun, karena situasi pandemi, ia lalu berhenti menjadi ojol dan bekerja bersama kerabat sebelum mendaftar ke LPK.
Kata Ema, sang suami awalnya diberikan pelatihan dengan penyaluran ke Arab Saudi. Namun, visa untuk bekerja di Arab Saudi disebutnya tak kunjung diterima hingga rentang dua tahun.
“Kita juga pada tahun 2022 itu sudah lupa, lah, mau kerja ke luar negeri, sudah kami ikhlaskan walaupun sudah membayar uang untuk membuat paspor, membayar LPK untuk (kursus) bahasa Inggris, dan membayar modul barista, baju, dan sebagainya,” papar Ema.
Sekitar Oktober atau November 2022, Ema menyebut pihak LPK menghubungi suaminya dan menawari pekerjaan di Thailand. Afrilian ditawari menjadi operator marketing dan berangkat menggunakan visa turis.
“Suami nanya, jobdesk-nya itu apa aja di sana? LPK tidak menjelaskan melalui tulisan, tapi dia menjelaskan melalui telepon, jadi saya juga tidak mempunyai bukti untuk suami ketipu gitu ya, dalam artian jobdesk-nya,” kata Ema.
Visa turis Muhammad Afrilian dijanjikan akan diganti visa kerja begitu tiba di Thailand. Ia pun berangkat ke Bangkok, Thailand bersama sejumlah calon rekan kerjanya dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 6 November 2022 pukul 19.15 WIB.
Nahasnya, sesampainya di Thailand, para WNI termasuk Afrilian diselundupkan ke Myanmar melalui jalur perairan. Mereka kemudian disekap di sebuah fasilitas dengan dijaga orang-orang bersenjata dan berseragam militer.
Selain menyekap WNI, pelaku juga memaksa korban bekerja 16 jam sehari dan menyiksa mereka. Jika ingin pulang, korban diminta membayar 'denda' sebanyak 75.000 yuan China atau Rp160,6 juta rupiah (kurs saat ini).
“Mereka dipaksa bekerja dari jam 8 malam hingga jam 1 siang untuk mencari kontak-kontak sasaran untuk ditipu melalui website atau aplikasi Crypto sesuai dengan target perusahaan. Apabila tidak terlaksana, maka para korban mendapatkan hukuman kekerasan fisik seperti push-up 50 sampai 200 kali, lari 5 sampai 20 kali lapangan, squat jump 50 sampai 200 kali hingga hukuman pemukulan dan penyetruman. Para korban tidak digaji, bahkan harus menombok untuk membayar denda yang ditetapkan oleh perusahaan,” demikian tulis siaran pers SBMI yang mendampingi keluarga korban.
Selain melapor ke pemerintah, representatif keluarga korban mengaku turut melaporkan kasus ini ke Global Anti-Scam Organization (GASO), sebuah organisasi yang didedikasikan untuk melawan TPPO di Asia Tenggara.
Baca Juga: Getir! Curhatan PMI Korban Trafficking Minta Pulang
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.