CANBERRA, KOMPAS.TV - Sebelas nelayan Indonesia terdampar di sebuah pulau yang berada ratusan kilometer dari peradaban. Mereka bertahan selama enam hari tanpa makanan dan air. Kisah ini merupakan cerita bertahan hidup yang luar biasa.
Para nelayan yang terdampar hampir saja mati jika mereka tidak segera ditemukan oleh awak pesawat Pasukan Perbatasan Australia yang lewat.
Mereka terdampar ketika Topan Tropis Ilsa menghantam wilayah sekitar 300 kilometer sebelah barat Broome. Dua kapal nelayan Indonesia tersangkut di jalur badai tersebut.
Satu perahu, Putri Jaya yang setidaknya memuat sembilan nelayan Indonesia, tenggelam karena dihantam badai. Sementara perahu lainnya, Express 1, selamat dari badai sebelum kandas di Pulau Bedwell. Awak Putri Jaya hingga kini masih belum ditemukan dan dikhawatirkan telah tewas.
Otoritas pencarian dan penyelamatan Indonesia mengatakan kepada ABC bahwa satu orang bertahan selama 30 jam dengan menggunakan jerigen untuk tetap mengapung, sebelum berenang menuju pulau terdekat bersama awak yang lain.
Baca Juga: 8 Nelayan Indonesia Dikhawatirkan Tenggelam dan 11 Lainnya Selamat Usai Terdampar Australia
Jika bukan karena pesawat Australian Border Force (ABF) yang melakukan pengawasan terencana beberapa hari kemudian, kisah mereka mungkin tidak akan pernah terungkap.
Pada hari Senin lalu (17/4/2023), petugas ABF di pesawat melihat 11 orang yang terdampar di pulau tak berpenghuni. Mereka kemudian mengalihkan pesawat Otoritas Keselamatan Maritim Australia untuk menyelidiki keberadaan orang-orang tersebut.
Mereka menemukan kamp darurat dan memanggil tim darurat dari PHI Aviation yang, pada Senin sore, telah mengirimkan helikopter dari Broome.
“Fakta bahwa para nelayan bertahan begitu lama adalah "luar biasa,” ujar pakar pencarian dan penyelamatan PHI Aviation, Gordon Watt.
"Ketakutan yang tak terbayangkan adalah apa yang akan mereka alami," katanya kepada ABC.
"Itu pasti sangat sulit bagi mereka karena ini adalah daerah yang sangat terpencil,” ucapnya.
"Seringkali, ketika kami pergi untuk melakukan penyelamatan, hanya ada sedikit orang - hanya satu atau dua orang yang bertahan - dan fakta bahwa mereka berada di sana begitu lama sungguh luar biasa," ujarnya.
Pulau itu terlalu berpasir untuk mendaratkan helikopter dan ketika malam tiba dan jarak pandang sangat terbatas.
"Waktu di siang hari sangat berarti bagi kru selama melakukan penyelamatan, jadi mereka harus beralih menggunakan kacamata penglihatan malam untuk [mendeteksi] gambar apa pun dalam kegelapan,” ujarnya.
"Dengan menggunakan sensor onboard di pesawat, tim dapat mengidentifikasi bahwa para penyintas memberi sinyal bahwa mereka membutuhkan air dan minuman," kata dia.
Setelah diselamatkan dan dikembalikan ke Broome, mereka diperiksa di Rumah Sakit Broome, dengan ABF melaporkan bahwa orang-orang tersebut dalam keadaan sehat, meskipun mengalami masa-masa berat.
Baca Juga: Ratusan Pengungsi Rohingya Terdampar di Pantai Aceh, Sebagian Perlu Perawatan Medis
Keluarga mereka di kampung halaman di desa kecil Papela dan Daiama di Pulau Rote sangat ingin mendengar kabar mereka.
Kepala Desa Daiama, Heber Laores Ferroh, mengatakan kepada ABC, bahwa nelayan yang hilang termasuk keponakan dan pamannya, yang menjadi kapten kapalnya.
Dia mengatakan tidak mendengar kabar dari orang yang mereka cintai dan dia sangat terkejut dengan kabar bahwa mereka telah hilang.
"Saya kenal dekat semua orang ini, saya dekat dengan mereka berenam. Mereka semua punya anak kecil yang menunggu di rumah. "Kita semua bertetangga. Kita hidup sangat dekat satu sama lain. Saya sangat, sangat sedih, orang-orang yang dekat dengan saya harus mengalami ini," kata Heber seperti dikutip dari ABC.
Sumber : ABC New Australia
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.