“Kami sebenarnya bisa membatalkan puasa. Itu tidak wajib,” katanya dikutip dari CNN, Rabu (22/3) .
“Berpuasa tidak menjadi kewajiban jika Anda tak berada dalam kondisi baik. Jadi hal hal itu, apa pun yang dapat membahayakan misi dan anggota kru, kami benar-benar diizinkan untuk makan makanan yang cukup untuk mencegaj peningkatan kekurangan makanan,” lanjut Alneyadi.
Pada Februari lalu, Alneyadi mengatakan ia juga bisa berpuasa dengan mengikuti waktu Greenwich, atau waktu kordinat universal, yang biasa digunakan sebagai zona waktu resmi di Stasiun Luar Angkasa.
“Jika kami memiliki kesempatan, Ramadan jelas waktu yang bagus untuk berpuasa dan menyehatkan. Tapi kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi,” tuturnya saat itu.
Alneyadi sendiri bukan menjadi Muslim pertama yang menjalani bulan Ramadan di luar angkasa.
Baca Juga: Korea Utara Uji Coba Drone Bawah Air, Ancam Bisa Sebabkan Tsunami Radioaktif Skala Super Besar
Pada 2007 ada astronot Malaysia, Sheikh Muszaphar Shukor yang pergi ke luar angkasa dan melewati Ramadan di Stasiun Luar Angkasa.
Ketika itu, Dewan Fatwa Nasional Islam Malaysia mengeluarkan pedoman khusus untuk memandunya dan astronot Muslim lainnya di masa depan.
Dewan tersebut mengungkapkan Sukhor bisa menunda puasanya sampai ia kembali ke Bumi, atau tetap berpuasa dengan zona waktu tempatn ia diluncurkan,
Ia juga dibebaskan dari kewajiban berlutut saat Salat, sebuah hal yang sulit karena bol gravitas, juga untuk menghadap ke arah Mekah ketika beribadah.
Sumber : CNN
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.