LA PATRONA, KOMPAS.TV - Di tengah perjalanan berbahaya ke Amerika Utara, para migran Amerika Tengah senantiasa mendapati setitik kelegaan ketika melintas dekat La Patrona, desa kecil di negara bagian Veracruz, Meksiko.
Sekelompok perempuan setia menunggu kereta yang membawa para migran di pinggir rel La Patrona sejak 1995, melempari mereka dengan makanan untuk bekal perjalanan.
Kelompok relawan perempuan itu dikenal dengan Las Patronas, dinamai berdasarkan desa tempat mereka berasal. Di lain sisi, kebetulannya, patrona dalam bahasa Spanyol juga berarti santo pelindung atau bos (feminin).
Kini, Las Patronas telah menunjang hidup para migran selama 28 tahun di tengah ancaman otoritas dan geng kriminal Meksiko. Mereka ingin membantu orang-orang yang mencari hidup lebih baik seiring memburuknya kondisi sehari-hari di Amerika Tengah.
Aksi kerelawanan Las Patronas membuat para perempuan ini dianugerahi Penghargaan Hak Asasi Manusia Nasional dan Penghargaan Nasional untuk Aksi Kerelawanan dan Solidaritas oleh pemerintah federal dan Komnas HAM Meksiko pada 2013 lalu.
Las Patronas juga sempat dinominasikan meraih Penghargaan Putri Asturias pada 2015 silam, sebuah penghargaan untuk entitas yang dinilai memiliki pencapaian penting dalam hal kepentingan publik, kemanusiaan, atau sains.
Baca Juga: Kapal Migran Tenggelam di Laut Italia, 59 Orang Tewas Termasuk 12 Anak-anak
Kiprah Las Patronas sendiri bermula dari sebuah kebetulan, ketika putri-putri Romero Vazquez menjumpai kereta lewat saat membeli sarapan, 28 tahun lalu.
Norma Romero dan saudarinya sedang menunggu kereta lewat dengan menenteng keranjang belanjaan pada 14 Februari 1995. Namun, kereta lewat itu justru membawa serta roti dan susu mereka, sekaligus mengubah jalan hidup keluarga Romero Vazquez dan warga desa La Patrona.
“Ketika (kereta) itu melintas, sekelompok orang dalam salah satu gerbong berteriak ke kami: ‘Mama, kami lapar.’ Lalu kelompok lain melintas dan meneriakkan hal yang sama: ‘Mama, kami lapar’,” kata Norma Romero kepada BBC pada 2014 silam.
“Jadi kami memberikan roti kami ke mereka, lalu sekarton susu kami,” lanjutnya.
Para migran itu biasa lewat La Patrona dengan kereta barang panjang yang meluncur pelan dua atau tiga kali sehari. Para migran yang datang dari Honduras, Guatemala, El Salvador, dan Nikaragua itu biasa duduk di atap kereta, berbekal mimpi mencari kerja di Amerika Serikat (AS).
“Kami sempat mengira mereka sekadar orang Meksiko yang bertualang, menjelajahi negara kami dengan bebas,” kata Norma.
Setelah spontan memberi belanjaan ke sekelompok orang asing, Norma Romero dan saudarinya takut dimarahi ibu. Namun, ibu mereka, Dona Leonidas justru merancang rencana untuk membantu para migran yang membutuhkan.
Dona Leonidas berkata ke putri-putrinya, jika para migran itu butuh makanan, mereka sekeluarga mesti memasak sekitar 30 porsi nasi dan kacang sehari, kemudian memberikannya ke para penebeng kereta.
Dona Leonidas dan anak-anaknya konsisten memasak nasi, kacang, dan tortilla jagung lalu membawanya ke pinggir rel setiap hari.
Seiring waktu, dapur Leonidas semakin sibuk. Tak hanya mengandalkan sumber daya sendiri, donasi mulai mengalir untuk diolah di dapur keluarga Leonidas.
Warga sekitar pun mulai bergabung dan terbentuklah Las Patronas. Dapur Leonidas kini memasak ratusan porsi makanan untuk para migran Amerika Tengah setiap harinya.
“Kami tidak pernah mengira ini akan menjadi sesuatu yang begitu besar,” kata Guadalupe Gonzalez, menantu Dona Leonidas.
Setiap tahunnya, diperkirakan ada 400.000 migran menebeng kereta yang melintasi La Patrona ke AS. Kereta barang ini umum dikenal sebagai La Bestia (Binatang Buas).
Tak hanya sangar nama, La Bestia secara harfiah kerap menjadi kendara yang membuat para migran mesti bertaruh nyawa. Selain membahayakan diri karena menumpang di atap, para migran juga terancam oleh polisi, tentara, dan kelompok kriminal bersenjata selama perjalanan.
Ricardo dari Honduras dan Oscar dari El Salvador, dua migran yang berupaya menerobos AS untuk berkumpul dengan keluarga, mengisahkan bahaya yang mengintai di dalam perjalanan si Binatang Buas.
Ketika keduanya hendak melintas ke AS pada 2014 silam, negara bagian Veracruz tengah menjadi medan perang antara dua kartel besar Meksiko, Los Zetas lawan Kartel Teluk.
Para migran kerap diperas geng kriminal atau mendapati perlakuan keras dari otoritas. Selain itu, cuaca panas dan hujan lebat juga menjadi risiko tersendiri di atap kereta.
Ricardo menyebut, geng narkoba Meksiko kerap menculik migran untuk menjualnya atau mencuri organ tubuh mereka. Para migran juga kerap dirampok saat kedapatan membawa sedikit harta-benda.
“Ini sangat berbahaya. Tidak hanya karena geng, juga karena bahaya di atap kereta. Seorang gadis kecil jatuh beberapa hari lalu dan terbelah dua,” kata Ricardo kepada BBC, Juli 2014 lalu.
Di tengah perjalanan berbahaya tersebut, keberadaan Las Patronas menjadi episode bersahabat yang membantu Ricardo, Oscar, dan ratusan ribu migran lain dengan paket-paket makanan.
“Las Patronas? Kami tahu mereka karena mereka membantu kami dan memberi kami makanan. Sesuatu seperti air, minuman, dan beberapa tortilla dan frijoles (kacang),” kata Oscar.
“Mereka membantu banyak dengan itu, karena terkadang Anda sama sekali tidak punya makanan atau uang untuk membeli apa pun,” lanjutnya.
Seiring perkembangannya, Las Patronas pun gigih membantu migran dalam keperluan-keperluan lain, tidak hanya memberi makanan.
Las Patronas turut bantu merepatriasi para migran yang meninggal di AS, menolong migran yang terluka, membantu mereka yang dipaksa kartel atau siapa pun turun dari kereta dan berjalan kaki ke Amerika Utara.
“Ada organisasi kriminal yang memalak 100 dolar AS (Rp1,54 juta, kurs saat ini) dari mereka untuk menumpang kereta. Jika mereka tidak membayar, mereka dilempar keluar,” kata Norma Romero dikutip El Pais, Agustus 2015 silam.
Secara pribadi, Norma Romero ingin orang-orang Amerika Tengah tak perlu beremigrasi karena kondisi hidup. Untuk itu, Norma menggunakan uang yang didapatnya dari Yayasan Asturias Spanyol pada 2015 silam untuk membangun sekolah dan memberi beasiswa.
Akan tetapi, Norma juga menekankan bahwa imigrasi tidaklah buruk. Selama kondisi hidup di negara asal migran belum membaik, ia meminta semua pihak untuk memperlakukan migran sebagai manusia, bukan “barang dagangan.”
“Mereka tidak datang ke sini untuk melakukan hal buruk. Mereka hanya ingin membantu keluarga,” kata Norma.
“Apabila barang-barang dan senjata bisa melintas (perbatasan), kenapa manusia tidak bisa?” pungkasnya.
Baca Juga: Perang Kartel Sinaloa dan Militer Meksiko atas Penangkapan Anak El Chapo, Pesawat Ikut Ditembaki
Sumber : Kompas TV/BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.