Dikutip dari The Guardian, Selasa (21/2/2023), UU kriminal Jepang mengharuskan dua kondisi untuk menyimpulkan bahwa serangan seksual telah terjadi.
Yaitu, tindakan seks yang dilakukan tidak berdasarkan persetujuan, dan ada bukti bahwa korban tak mampu melawan secara fisik.
Di antara ketentuan paling kontroversial di UU adalah persyaratan agar jaksa membuktikan bahwa pelaku pemerkosaan menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk melumpuhkan korban.
Panel Kementerian Kehakiman tidak menghapus kata-kata dalam rekomendasinya.
Tetapi mengklarifikasi bahwa definisi tersebut juga mencakup pemabukan, obat bius, menangkap korban secara lalai, dan penggunaan kontrol psikologis.
Klarisifikasi itu tidak dimaksudkan untuk membuat lebih mudah atau sulit untuk mendapatkan hukuman pemerkosaan.
Baca Juga: Polisi Irlandia Kritis Setelah Ditembak Dua Pria Bersenjata, Diyakini Tindakan Teroris
Namun, menurut seorang pejabat Kementerian Kehakiman, hal itu mudah-mudahan bisa membuat putusan pengadilan jadi lebih konsisten.
Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) menyambut perubahan itu sebagai langkah maju.
Tetapi mereka mengatakan hal itu masih gagal memenuhi UU perkosaan internasional.
Sebaliknya, kelompok itu menegaskan Jepang harus mendefinisikan kembali kejahatan pemerkosaan sebagai semua hubungan seksual tanpa kesepakatan.
Sumber : The Guardian
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.