Di sekitar sini, sebagian besar distrik hancur menjadi puing-puing, lokasi penyelamat dari kelompok Helm Putih menemukan lebih dari 500 mayat.
Jindaris adalah salah satu kota yang paling parah dilanda gempa yang menewaskan lebih dari 3.600 orang di lima provinsi Suriah, mengeklaim jumlah korban tewas tertinggi di Idlib dan Aleppo.
Keluarga korban selamat di sini tidur di sekolah, masjid, dan kamp pengungsian atau di tempat penampungan dasar yang dibangun di ruang terbuka seperti kebun zaitun dan lapangan umum.
Di seberang kota, keluarga pensiunan karyawan Abdelrahman Haji Ahmed dan tetangganya sekarang tinggal di tenda darurat yang didirikan di tengah jalan mereka yang telah dibongkar.
Pada malam hari, kaum perempuan dan anak-anak meringkuk di dalamnya, di bawah seprai dan selimut plastik yang compang-camping, sementara Ahmed dan pria lainnya tidur di bawah bintang-bintang.
Badan anak-anak PBB, UNICEF, menekankan kebutuhan mendesak untuk "akses ke air minum yang aman dan layanan sanitasi, yang sangat penting dalam mencegah penyakit" setelah gempa.
"Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada sanitasi," katanya seperti dikutip France24, dengan bekas rumahnya yang hancur di belakangnya, "Kehidupan semua keluarga tragis."
Ahmed menggendong putri kecilnya, diawasi oleh anak-anak lain, dan mengatakan saat ini yang dibutuhkan keluarganya hanyalah "satu atau dua tenda agar anggota keluarganya dapat beristirahat.
"Kemudian kita akan melihat apa yang harus dilakukan selanjutnya, tapi inilah yang kami minta sekarang," tambahnya. "Kami tidak memikirkan masa depan. Situasi kami saat ini tidak memungkinkan."
Baca Juga: KBRI Damaskus Salurkan Bantuan untuk Korban Gempa Suriah, Bantuan Jakarta Menyusul
Beberapa bantuan internasional telah tiba di wilayah tersebut, termasuk konvoi truk yang melintasi perbatasan Turki, tetapi banyak korban selamat di Jindaris masih sangat membutuhkan bantuan.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan tempat berlindung adalah salah satu kebutuhan prioritas utama, bersama dengan makanan darurat siap saji, pemanas, dan fasilitas kebersihan.
Di kamp lain, di pinggiran Jindaris, Khawthar al-Shaqi yang berusia 63 tahun sekarang tinggal bersama putri dan cucunya setelah menghabiskan empat malam pertama di tempat terbuka.
"Kami berlindung di kamp di mana kami dapat menemukan tempat berlindung," kata Shaqi, yang bertahun-tahun lalu melarikan diri dari kota asalnya Homs dan mengatakan dia sekarang kekurangan sarana untuk memenuhi kebutuhan paling dasar sekali pun.
"Kami tidak mampu membeli sebotol air atau pakaian," katanya saat anak-anak kecil itu bermain di luar tenda. "Jika kami ingin pergi ke kota, kami tidak punya transportasi atau uang."
"Kondisi tidak lagi dapat ditoleransi dan kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan anak-anak. Di sini kami duduk dalam kedinginan... Kami tidak memiliki apa-apa selain belas kasihan Allah SWT," tuturnya lirih.
Sumber : Kompas TV/France24
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.