JAKARTA, KOMPAS.TV - Program High-frequency Active Auroral Research Program (HAARP) atau dalam bahasa Indonesia Program Penelitian Aurora Aktif Frekuensi Tinggi kembali diserang penganut teori konspirasi usai gempa berkekuatan magnitudo (M) 7,8 mengguncang tenggara Turki dan utara Suriah, Senin (6/2/2023) kemarin.
Sebagaimana berbagai peristiwa bencana alam belakangan ini, penganut teori konspirasi mengeklaim HAARP menyebabkan gempa Turki-Suriah.
Lalu, apa itu HAARP dan kenapa program Amerika Serikat (AS) ini kerap dituduh penganut teori konspirasi sebagai dalang segala bencana?
HAARP adalah program penelitian yang didanai bersama oleh Angkatan Udara AS, Angkatan Laut AS, University of Alaska Fairbanks, dan Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), didirikan pada 1993 silam.
Melansir laman FAQ HAARP di situsweb Universty of Alaska Fairbanks, program ini ditujukan untuk meneliti termosfer dan ionosfer. Program ini juga ditujukan untuk mencari pengembangan teknologi yang berkenaan dengan ionosfer demi komunikasi radio dan surveilans.
Baca Juga: Alasan Gempa Turki-Suriah Berdampak Dahsyat: Gempa Darat 7,8M dan Hiposentrum 18km di Wilayah Padat
Untuk keperluan penelitian, HAARP menggunakan Ionospheric Research Instrument (IRI), sebuah pemancar radio frekuensi tinggi yang dibangun di Gakona, Alaska.
Belakangan ini, penganut teori konspirasi menuduh HAARP telah menjadi senjata pengontrol iklim AS yang bisa menyebabkan banjir bandang, kebakaran hutan, hingga gempa bumi.
Sains rumit yang melatari program itu membuat berbagai teori konspirasi bermunculan. HAARP mengakui bahwa fisika antariksa seperti yang dipraktikkan dalam program itu bukanlah bidang studi yang mudah.
"Seperti ketika Anda mengalami efek-efek perubahan atmosferis jangka pendek sebagai cuaca terestrial (temperatur, kelembapan, pengendapan, angin, jarak pandang, dll.), matahari dan Bumi juga memiliki interaksi unik sendiri yang juga berdampak ke kita," demikian tulis keterangan di laman FAQ HAARP di situsweb University of Alaska Fairbanks.
Mick West, penulis sains dengan fokus pada teori-teori konspirasi cuaca dan bencana, menyebut cara membuktikan HAARP bukanlah senjata rahasia adalah menjelaskan apa sebenarnya program itu. Menurutnya, sebagai program riset, HAARP hanya memiliki pemancar radio di Alaska.
"Cara menyanggah teori konspirasi HAARP adalah coba menjelaskan ke orang-orang apa yang dilakukannya (program tersebut). Jelaskan ke mereka itu sebatas pemancar radio yang berada di satu lokasi di Alaska dan itu hanya mempengaruhi sejumlah kecil udara di atasnya," kata West kepada France24, November 2021 lalu.
"Jelaskan ke mereka bahwa kekuatan sebenarnya dari pemancar radio ini sangat, sangat kecil dibanding apa yang Anda perlukan jika Anda benar-benar ingin melakukan perubahan-perubahan sesuai dugaan Anda," lanjutnya.
West mengakui bahwa beberapa negara tengah mengembangkan teknologi pengontrol cuaca. Namun, saat ini, teknologi tersebut baru bisa membuat perubahan seperti menimbulkan hujan kecil atau memencar kabut dalam skala kecil.
Sejumlah ilmuwan juga diketahui meneliti cara menebar partikel untuk menghalangi cahaya matahari demi menghadapi pemanasan global atau memodifikasi jalur angin ribut. Namun, belum ada hasil memuaskan dari penelitian seperti demikian.
Pendek kata, teknologi cuaca saat ini masih jauh dari bayangan-bayangan di teori konspirasi.
Para peneliti menyebut gempa yang melanda Turki dan Suriah disebabkan sesar mendatar (strike-slip fault); berpotensi menimbulkan gempa ketika dua lempeng tektonik bergesekan secara horisontal.
Melansir Associated Press, Eric Sandvol, seismolog dari Universitas Missouri AS menyebut lempeng-lempeng tektonik umum bertumbukan secara pelan di garis sesar (patahan).
Akan tetapi, sekalinya terkumpul tegangan yang cukup tinggi, lempeng-lempeng tektonik dapat melesat secara cepat, mengeluarkan energi berskala besar yang menyebabkan gempa.
Geolog dari Survei Geologi AS (USGS), Alex Hatem menyebut, dalam kasus gempa Turki-Suriah, gempa timbul karena sentakan dari satu lempeng tektonik yang bergerak ke timur dan satu lempeng yang bergerak ke barat.
Sentakan yang berasal dari dua lempeng tersebut menyebabkan gempa M 7,8 yang menewaskan lebih dari 5.000 orang per Selasa (7/2) petang waktu Indonesia.
Baca Juga: Dunia Gerak Cepat Kirim Tim Penyelamat ke Turki dan Suriah, Berpacu Selamatkan Korban Gempa Bumi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.