Sekretaris Jenderal PBB “terus berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Myanmar dan mendukung aspirasi demokrasi mereka untuk masyarakat yang inklusif, damai dan adil serta perlindungan semua komunitas, termasuk Rohingya,” kata Dujarric.
Diskriminasi lama terhadap Muslim Rohingya di Myanmar yang rakyatnya mayoritas beragama Buddha, termasuk penolakan kewarganegaraan dan banyak hak lainnya, meledak pada Agustus 2017 ketika militer Myanmar melancarkan apa yang disebutnya kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine utara sebagai tanggapan atas serangan terhadap polisi dan penjaga perbatasan oleh seorang Rohingya.
Lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, di mana mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian, karena tentara diduga melakukan pemerkosaan dan pembunuhan massal serta membakar ribuan rumah.
Pada Januari 2020, Mahkamah Internasional, mahkamah agung PBB, memerintahkan Myanmar melakukan semua yang bisa dilakukan untuk mencegah genosida terhadap Rohingya.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Jatuhkan Hukuman Tambahan kepada Aung San Suu Kyi, Total Jadi 33 Tahun
Dua hari sebelumnya, sebuah komisi independen yang dibentuk oleh pemerintah Myanmar menyimpulkan ada alasan untuk meyakini bahwa pasukan keamanan melakukan kejahatan perang terhadap warga etnis Rohingya – tetapi bukan genosida.
Guterres menyambut baik resolusi pertama tentang Myanmar yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada 21 Desember yang menuntut segera diakhirinya kekerasan di negara Asia Tenggara itu, dan mendesak junta militer membebaskan semua tahanan yang “ditahan secara sewenang-wenang”, termasuk Suu Kyi, dan untuk memulihkan institusi demokrasi.
Resolusi tersebut menyerukan kepada pihak-pihak yang berseberangan untuk melakukan dialog dan rekonsiliasi dan mendesak semua pihak “untuk menghormati hak asasi manusia, kebebasan mendasar dan supremasi hukum.”
Sekretaris Jenderal menganggap resolusi itu “langkah penting dan menggarisbawahi urgensi untuk memperkuat persatuan internasional,” kata Dujarric.
Juru bicara itu mengatakan utusan khusus PBB untuk Myanmar, Noeleen Heyzer, akan berkoordinasi erat dengan ASEAN atas seruan Dewan Keamanan “untuk terlibat secara intensif dengan semua pihak terkait di Myanmar untuk mengakhiri kekerasan dan untuk mendukung kembalinya menuju demokrasi.” Indonesia mengambil alih kursi ASEAN pada 1 Januari dari Kamboja.
“Perserikatan Bangsa-Bangsa berkomitmen untuk tetap berada di Myanmar dan mengatasi berbagai kerentanan yang timbul dari tindakan militer sejak Februari 2021,” kata Dujarric, mendesak akses tanpa hambatan ke semua komunitas yang terkena dampak.
“Sekretaris Jenderal memperbaharui seruannya kepada negara-negara tetangga dan negara-negara anggota lainnya untuk mendesak pimpinan militer menghormati keinginan dan kebutuhan rakyat Myanmar dan mematuhi norma-norma demokrasi,” kata juru bicara PBB.
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.