"Booster yang mereka berikan produksi China juga, misalnya (vaksin pertama) Sinovac, ya (booster-nya) Sinovac," ujarnya.
Padahal, ia menegaskan, jenis vaksin yang efektif untuk menjadi booster dalam menghadapi varian omicron adalah messenger RNA (mRNA) dan Novavax.
Baca Juga: PPKM Dicabut, Epidemiolog Ingatkan Dampak Jangka Panjang Covid-19: Kerusakan Organ Dalam
"Di China, karena politik dan sebagainya, mereka nggak mau memakai vaksin itu, baru sekarang mereka mau, setelah ini menjadi petaka besar," jelasnya.
Selain penggunaan vaksin booster yang tidak efektif melawan virus covid jenis omicron, banyak kelompok lansia di Tiongkok yang belum divaksin.
"Ternyata sebagian dari kelompok rawan, antara lain lansia, itu sama sekali belum divaksin. Ada 40 juta kurang lebih yang belum sama sekali divaksin," kata Dicky.
Peraih gelar magister sains bidang epidemiologi penyakit menular dari Universitas Griffith itu juga menekankan bahwa ancaman pandemi yang dihadapi suatu negara setiap tahunnya sangat berbeda.
"Dalam konteks China jadi mundur, yang dialami dunia 18 bulan lalu, sekarang dialami oleh China," ujarnya.
Terkait dampak lonjakan kasus Covid-19 di China terhadap Indonesia, ia menerangkan adanya kemungkinan lahirnya sub varian atau varian baru akibat banyaknya infeksi yang terjadi.
"Yang perlu dimitigasi adalah lahirnya sub varian atau varian baru mungkin satu bulan ke depan, akibat infeksi yang begitu banyak, potensi itu tetap ada," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.