Seluruh personelnya memiliki motivasi spesifik untuk bergabung. Beberapa di antaranya bahkan memiliki alasan personal ketimbang politis demi bergabung dalam legiun ini.
Lelaki berjuluk Tikhiy, yang dalam bahasa setempat berarti Pendiam, misalnya. Ia menikah dengan seorang perempuan Ukraina yang ia temui di Rusia, tempat mereka tinggal bersama dua orang anak.
Saat Rusia menginvasi pada akhir Februari silam, Tikhiy tengah mengunjungi keluarga istrinya di Kiev.
“Jika kami tinggal di Rusia, dia tak akan mengerti,” ujar Tikhiy merujuk istrinya.
Baca Juga: Presiden China Xi Jinping Ingin Pembicaraan Damai Terjadi di Ukraina, Minta Semua Pihak Menahan Diri
Sejak perang dimulai, lelaki berusia 40-an tahun asal Tolyatti, sebuah kota di barat-daya Rusia, ini nyaris tak pernah berkabar dengan keluarganya di Rusia.
“Mereka mengalami pencucian otak sedikit. Tapi saya tahu, mereka mengkhawatirkan saya,” akunya menyebut keluarganya di Rusia.
Tikhiy menganggap tentara Rusia sebagai musuh. Ia kini berupaya mendapatkan kewarganegaraan Ukraina. Namun ia sadar, ia tak akan mendapatkannya hingga perang Rusia-Ukraina usai.
“Untuk sementara ini, paspor saya masih atas nama musuh,” ujarnya.
Caesar sang juru bicara legiun, dulunya adalah seorang ahli fisioterapi di St Petersburg, bekas ibu kota Rusia dan kota terbesar kedua di Negeri Beruang Merah.
Ia sendiri mengaku memiliki motivasi politis, menggambarkan dirinya sebagai nasionalis sayap kanan yang meyakini rezim Putin hanya bisa digulingkan dengan kekuatan.
“Mereka boneka,” ujar Caesar mencibir pasukan Rusia. Dan orang-orang Rusia, imbuhnya, “Tak mau melihat atau mendengar apa pun.”
“Rusia tengah sekarat. Pergilah ke pedesaan, kau akan lihat pemabuk, pemadat, penjahat. Orang-orang menderita,” tambahnya lagi.
Sudah jelas, tekannya, bahwa dua dekade kekuasaan Putin adalah sumber masalahnya.
“Sistemnya, pemerintahannya, pejabat-pejabatnya, semuanya omong kosong. Mereka pecundang, korup, pencuri, yang hanya memikirkan hidup untuk uang dan kesenangan. Bukan begitu cara menjalankan negara,” sergahnya.
Setelah Moskow menginvasi Ukraina pada 24 Februari, Caesar menjemput istri dan keempat anaknya dan pindah ke Kiev. Kini tinggal di Ukraina, ia yakin keluarganya akan lebih aman dan ia dapat berbicara dengan bebas.
“Mereka pun hidup dalam ketakutan karena gempuran artileri tentara Rusia, juga kedinginan di tengah musim dingin yang membekukan, tapi mereka sepakat dengan pilihan-pilihan saya,” pungkasnya.
Sumber : The Moscow Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.