KAIRO, KOMPAS.TV — Dua hari pertempuran antarsuku di Sudan bagian selatan telah menewaskan sedikitnya 220 orang, kata seorang pejabat kesehatan senior, Minggu (23/10/2022).
Peristiwa itu menandai salah satu serangan kekerasan suku paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir, seperti dilansir Associated Press, Minggu.
Kerusuhan telah menambah kesengsaraan negara Afrika yang sudah terperosok dalam konflik sipil dan kekacauan politik itu.
Pertempuran di provinsi Blue Nile, yang berbatasan dengan Ethiopia dan Sudan Selatan itu, kembali meletus awal bulan ini karena sengketa tanah.
Konflik itu mengadu suku Hausa, dengan asal-usul di Afrika Barat, melawan orang-orang Berta.
Ketegangan meningkat pada Rabu (19/10/2022) dan Kamis (20/10/2022) di kota Wad el-Mahi di perbatasan dengan Ethiopia, menurut Fath Arrahman Bakheit, direktur jenderal Kementerian Kesehatan di Blue Nile.
Dia mengatakan kepada The Associated Press, para pejabat menghitung setidaknya 220 orang tewas pada Sabtu malam. Ia menambahkan, jumlahnya bisa jauh lebih tinggi karena tim medis belum bisa mencapai pusat pertempuran.
Bakheit mengatakan konvoi kemanusiaan dan medis pertama berhasil mencapai Wad el-Mahi pada Sabtu malam untuk mencoba menilai situasi, termasuk menghitung "sejumlah besar mayat ini," dan puluhan orang terluka.
Baca Juga: Selama 8 Bulan Pertama 2022, Perang Suku Tewaskan 380 Orang di Sudan, Ratusan Ribu Telantar
"Dalam bentrokan seperti itu, semua orang kalah," katanya.
"Kami berharap ini segera berakhir dan tidak pernah terjadi lagi. Tapi kami membutuhkan intervensi politik, keamanan dan sipil yang kuat untuk mencapai tujuan itu."
Rekaman dari tempat kejadian menunjukkan rumah-rumah yang terbakar dan tubuh hangus.
Yang lain menunjukkan perempuan dan anak-anak berusaha menyelamatkan diri dengan berjalan kaki.
Banyak rumah yang terbakar habis dalam pertempuran itu, yang menyebabkan sekitar 7.000 orang mengungsi ke kota Rusyaris.
Lainnya melarikan diri ke provinsi tetangga, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.
Secara keseluruhan, sekitar 211.000 orang mengungsi akibat kekerasan suku dan serangan lain di seluruh negeri tahun ini, kata PBB.
Pihak berwenang memerintahkan penerapan jam malam di Wad el-Mahi dan mengerahkan pasukan ke daerah itu.
Mereka juga membentuk komite pencari fakta untuk menyelidiki bentrokan tersebut, menurut kantor berita SUNA yang dikelola pemerintah.
Baca Juga: Akibat Kasus Perzinaan, Perempuan di Sudan Divonis Rajam hingga Mati
Pertempuran antara kedua suku itu pertama kali meletus pada pertengahan Juli, menewaskan sedikitnya 149 orang hingga awal Oktober.
Ini memicu protes kekerasan dan memicu ketegangan antara dua suku di Blue Nile dan provinsi lainnya.
Pertempuran terakhir terjadi pada saat kritis bagi Sudan, hanya beberapa hari sebelum ulang tahun pertama kudeta militer yang semakin menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan.
Kudeta itu menggagalkan transisi singkat negara itu menuju demokrasi setelah hampir tiga dekade pemerintahan represif Omar al-Bashir, yang digulingkan pada April 2019 oleh pemberontakan rakyat.
Dalam beberapa pekan terakhir, militer dan gerakan pro-demokrasi terlibat dalam pembicaraan untuk menemukan jalan keluar dari situasi yang sedang berlangsung.
Para jenderal setuju mengizinkan warga sipil menunjuk seorang perdana menteri untuk memimpin negara itu melalui pemilihan umum dalam waktu 24 bulan, kata gerakan pro-demokrasi pekan lalu.
Namun, kekerasan di Blue Nile kemungkinan akan memperlambat upaya tersebut.
Kelompok-kelompok pengunjuk rasa, yang menolak kesepakatan dengan para jenderal yang berkuasa, mempersiapkan demonstrasi antimiliter massal pada Selasa (25/10/2022), bertepatan dengan peringatan kudeta militer pada tahun lalu.
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.