Plai Fon, yang nama resminya adalah Siriprapa Prasertsuk, adalah anak sulung Tukta, yang tiga tahun lebih tua dari adik bayinya.
Plai Fon balita yang mungil, dengan rambut hitam dan pipi montok yang tersenyum cerah. Itu adalah senyuman yang dirindukan neneknya, Bandal Pornsora, 62 tahun.
"Dia gadis yang baik," kata Bandal. "Gadis yang baik."
Pada hari Kamis nahas itu, Plai Fon pergi ke Pusat Penitipan Anak, yang dindingnya dihiasi dengan bunga dan kupu-kupu yang cerah dan ceria.
Petang penuh petaka itu dimulai ketika seorang pecatan polisi menyerbu masuk dan mulai menembak serta menikam dan membacok anak-anak, yang saat itu tengah meringkuk tidur siang di atas tikar dan terbungkus selimut.
Hari Jumat, ketika Tukta menunggu jasad putrinya diserahkan kepada keluarga, dia mendapati dirinya merenungkan kengerian yang pasti dialami Plai Fon di saat-saat terakhirnya.
Baca Juga: Kisah Pilu Pembantaian 22 Balita Thailand yang Tengah Tidur Siang, Seorang Balita Berhasil Selamat
"Saya ingin melihat putri saya, untuk melihat seperti apa fisiknya," katanya. "Saya tidak tahu berapa banyak rasa sakit yang dia (pelaku) berikan kepada anak saya. (Bahkan) jika pun dia tertidur (saat nyawanya dirampas), dia pasti merasakan sakitnya. Saya tidak tahu apa yang merenggut nyawanya. Saya hanya ingin melihat wajahnya."
Dia akhirnya bisa melihat jasad putrinya beberapa jam kemudian, di sebuah kuil Buddha terdekat di mana orang-orang terkasih dari korban tewas berkumpul untuk menerima jenazah.
Keluarga yang muncul dari kuil berbicara tentang melihat luka besar pada anak-anak mereka. Banyak yang berteriak, histeris, beberapa langsung jatuh pingsan.
Tukta berjalan ke kuil bersama suami dan ibu mertuanya. Ketika mereka kembali, suami Tukta langsung jatuh pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit.
Tukta terisak dan meraih lengan ayahnya. Mata Plai Fon, katanya, terbuka lebar. Di halaman belakang kuil, pasangan itu berpelukan, berusaha memberikan kenyamanan yang tak kunjung datang.
Baca Juga: Saksi Pilu Pembantaian 22 Balita di Thailand, Selimut Bergambar Kartun dan Kaos Klub Bola Inggris
Tukta memeluk sangat kuat sebuah bingkai berisi foto Plai Fon menggenggam spidol kuning dan menatap ke kamera dengan mata lebar.
Jari-jari ibu muda itu gelisah di tepi bingkai saat dia bersandar ke ayahnya, keduanya menyeka air mata.
Setiap malam sebelum tidur, tutur Tukta, Plai Fon selalu berkata, "Saya ingin tidur dengan ibu."
Tukta menangis mengingatnya.
"Ini adalah kata-kata yang saya dengar setiap malam," katanya. "Tapi aku merindukan kata-kata itu tadi malam," tuturnya satu hari setelah Plai Fon dirampas nyawanya.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.