LONDON, KOMPAS.TV — Raja baru Inggris saat ini bernama Raja Charles III — tetapi nama dan gelar Charles III itu bukannya tidak bisa dihindari oleh Raja Inggris yang baru.
Seperti laporan Associated Press, Sabtu (10/9/2022), Charles Philip Arthur George bisa saja memilih nama kerajaan lain ketika dia naik takhta, setelah Ratu Elizabeth meninggal pada hari Kamis (8/9/2022) lalu.
Sementara ratu menggunakan nama depannya, Elizabeth, ayahnya, Raja George VI, bernama Albert Frederick Arthur George dan dipanggil Bertie oleh teman dan keluarga.
Beberapa pengamat berpikir raja baru mungkin lebih suka nama yang lain karena beban sejarah yang terkait dengan dua raja Inggris sebelumnya yang disebut Charles, namun ternyata Pangeran Charles memilih gelar Raja Charles III.
Diketahui, sebelumnya ada Raja Charles I dan II. Kedua raja Inggris ini memiliki sejarah mengerikan. Ini sejarahnya.
Baca Juga: Ratu Elizabeth II Dimakamkan 19 September di Westminster Abbey
RAJA CHARLES I
Raja Charles I adalah satu-satunya penguasa Inggris yang pemerintahannya menyebabkan revolusi dan penghapusan sementara sistem monarki di Inggris.
Dia naik takhta tahun 1625, dan pemerintahannya menyebabkan perebutan kekuasaan yang berkembang antara mahkota atau takhta kerajaan dan Parlemen, yang berusaha membatasi kekuasaan raja.
Setelah raja berusaha menangkap anggota parlemen di House of Commons pada tahun 1642, permusuhan meletus menjadi Perang Saudara Inggris, yang berakhir dengan kemenangan bagi pasukan parlemen dibawah komando Oliver Cromwell.
Sebagai seorang Raja, Charles I adalah sebuah bencana; namun sebagai seorang pria, dia menghadapi kematiannya dengan keberanian dan martabat.
Pengadilan dan eksekusinya adalah yang pertama dalam sejarah Inggris.
Seperti laporan Historic Royal Palace, Charles I baru menjadi putra mahkota ketika saudaranya Henry meninggal pada tahun 1612
Penolakannya yang keras kepala untuk kompromi dan berbagi kekuasaan akhirnya memicu perang saudara di Inggris.
Tujuh tahun pertempuran antara pendukung Charles I dan Anggota Parlemen Oliver Cromwell merenggut nyawa ribuan orang, dan akhirnya, nyawa Raja Charles I sendiri.
Charles dihukum atas tuduhan pengkhianatan dan dieksekusi pada 30 Januari 1649 di luar Gedung Perjamuan di Whitehall.
Baca Juga: Resmi Dinyatakan Sebagai Raja Inggris, Raja Charles III Langsung Menuju Istana Buckingham
Charles I mewarisi keyakinan ayahnya soal Hak Ilahi Para Raja, sebuah doktrin yang dijunjung oleh seluruh dinasti Stuart, salah satu keluarga paling kuat yang pernah memerintah Skotlandia.
Mereka percaya raja-raja dipilih oleh Tuhan untuk memerintah, dan hanya Tuhan yang dapat memerintah mereka.
Charles juga percaya dirinya punya satu-satunya hak untuk membuat hukum, jadi menentangnya adalah dosa terhadap Tuhan.
Dia benar-benar percaya kediktatoran adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang efektif.
Lukisan langit-langit Rubens yang megah di Banqueting House, yang selesai tahun 1636, ditugaskan oleh Charles I untuk merayakan prinsip-prinsip ilahi ini.
Dalam detail utama, The Apotheosis of James I, ayahnya digambarkan naik ke surga dalam awan kemuliaan.
Secara pribadi, Charles lembut dan sopan, dan seorang ayah yang pengasih.
Namun, di depan umum, rasa rendah diri Raja yang parah membuatnya tampak terlihat angkuh dan sombong.
Baca Juga: Duduki Takhta Terlama di Kerajaan Inggris, Berikut Kenangan-Kenangan dari Ratu Elizabeth II...
Royalis membuat gebukan awal yang kuat, dan kavaleri mereka tetap tak terkalahkan sampai tahun 1644.
Perlahan-lahan anggota Parlemen di bawah Oliver Cromwell yang jenius secara militer mulai menang dalam apa yang menjadi perang paling berdarah yang pernah terjadi di tanah Inggris.
Pertempuran Naseby pada Juni 1645 dan kekalahan tentara Royalis mungkin menandai titik balik dalam perang, meskipun pertempuran berlangsung hingga 1649.
Pada tahun 1646 Charles I dipenjarakan oleh Cromwell dan ditempatkan di bawah tahanan rumah di apartemen tua kerajaan Tudor di Istana Hampton Court, namun Charles berhasil kabur.
Charles I segera ditangkap kembali dan ditahan di Kastil Carisbrooke di Isle of Wight, di mana dia diperlakukan dengan baik.
Namun terlepas dari banyak kesempatan, Charles I menolak untuk bertobat dan mencari perdamaian dan jalan tengah.
Dia dengan keras kepala menolak menerima kekalahan dan tunduk pada otoritas republik.
Baca Juga: Inggris Resmi Umumkan Raja Baru Raja Charles III, Perdana Menteri dan Parlemen Ucapkan Sumpah Setia
Charles I usai putusan hukuman mati pada 29 Januari, hanya diberi waktu tiga hari untuk membereskan urusannya dan mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya.
Keesokan paginya, Selasa 30 Januari, Charles I bangun pagi-pagi dan berpakaian untuk cuaca dingin agar tidak menggigil, supaya orang-orang tidak akan mengira dia gemetar ketakutan.
Pintu sel penjaranya diketuk pada pukul 10 pagi.
Charles, Uskup Juxon dan pelayannya Thomas Herbert berjalan melintasi Taman St James, Raja terbungkus jubah hitam, dikelilingi di semua sisi oleh penjaga.
Raja, yang rambutnya diikat dengan topi tidur putih, melepas jubahnya dan berbaring. Dia mengatakan kepada algojo bahwa dia akan mengucapkan doa singkat, dan kemudian memberikan sinyal bahwa dia sudah siap.
Setelah beberapa saat, Raja memberi kode, lalu kapak algojo jatuh menghunjam, memenggal kepalanya dalam satu sapuan bersih.
Putuslah nyawa Raja Charles I.
Baca Juga: Apa Alasan Ratu Elizabeth II dan Keluarga Kerajaan Inggris Tidak Pernah Memakai Nama Belakang?
RAJA CHARLES II
Putra Charles I, yang akan menjadi Raja Charles II, menghabiskan masa mudanya di luar negeri selama 11 tahun pemerintahan Inggris di bawah Cromwell, dan naik takhta ketika monarki dipulihkan pada tahun 1660.
Raja Charles II memiliki kekuatan dan kekuasaan yang jauh lebih kecil daripada yang dinikmati ayahnya, Raja Charles I.
Raja Charles II dilucuti dari kuasa untuk membuat undang-undang tanpa persetujuan Parlemen.
Reformasi lebih lanjut dalam dekade berikutnya menetapkan bahwa takhta Inggris harus menerima kehendak Parlemen yang dipilih secara demokratis, sekarang menjadi dasar monarki konstitusional Inggris.
Ketika Charles II kembali dari pengasingan tahun 1660, opini publik berayun kembali mendukung monarki.
Banyak orang benar-benar muak dengan pengekangan Puritanisme ala Cromwell.
Oliver Cromwell, yang meninggal sebagai orang yang kecewa pada tahun 1658, gagal menciptakan Parlemen yang berfungsi dan putra serta pewarisnya yang tidak kompeten, Richard, terpaksa mengundurkan diri.
Baca Juga: King Charles III Pemimpin Baru Kerajaan Inggris, Inilah Momen Pidato Perdananya Usai Naik Takhta
Menurut Brittanica, George Monck, salah satu jenderal terkemuka Cromwell, menyadari bahwa di bawah penerus Cromwell, negara itu dalam bahaya tercerai berai.
Pasukannya yang tangguh kemudian digunakan untuk menciptakan tekanan politik, menciptakan situasi yang menguntungkan bagi pemulihan tahta Charles II tahun 1660.
Setelah kematian Oliver Cromwell tahun 1658, peluang Charles untuk merebut kembali tahta Inggris awalnya tampak tipis.
Oliver Cromwell digantikan sebagai Lord Protector oleh putranya, Richard Cromwell.
Namun, Lord Protector yang baru, dipandang tidak kompeten. Parahnya, Richaed tidak punya basis kekuatan di Parlemen dan tidak punya tentara, akhirnta dipaksa turun takhta tahun 1659.
Protektorat Inggris kemudian dihapuskan, dan Persemakmuran Inggris didirikan kembali.
Selama kerusuhan sipil dan militer berikutnya, George Monck, Gubernur Skotlandia, khawatir bangsanya akan jatuh ke dalam anarki.
Baca Juga: Momen Raja Charles III Temui Rakyat Meski Memiliki Sejumlah Skandal di Masa Lalu
Monck dan pasukannya berbaris ke Kota London dan memaksa Parlemen untuk membubarkan diri.
Untuk pertama kalinya dalam hampir 20 tahun, anggota DPR menghadapi pemilihan umum.
Sebuah House of Commons yang didominasi Royalis atau pendukung monarki kemudian terpilih dari hasil pemilu.
Segera setelah bersidang pada 25 April 1660, Parlemen Konvensi menerima berita tentang Deklarasi Breda (8 Mei 1660), di mana Charles setuju, antara lain, untuk mengampuni banyak musuh ayahnya.
Parlemen juga kemudian menyatakan Charles II menjadi Penguasa yang sah sejak eksekusi Charles I pada tahun 1649.
Charles lantas berangkat ke Inggris, tiba di Dover tanggal 23 Mei 1660 dan mencapai London pada tanggal 29 Mei, yang dianggap sebagai tanggal Pemulihan tahta Inggris, dan merupakan hari ulang tahun Charles yang ke-30.
Baca Juga: Dinobatkan Jadi Raja, Pangeran Charles Disebut Sosok Visioner, Terutama soal Lingkungan Hidup
Meskipun Charles memberikan amnesti kepada pendukung Cromwell dalam Act of Indemnity and Oblivion, akta ini membuat ketentuan khusus bagi orang-orang untuk dikecualikan oleh tindakan Parlemen.
Di bawah Charles II, 41 anggota republik yang masih hidup yang menandatangani surat perintah eksekusi mati Charles I dipanggil untuk bertanggung jawab.
Sebagian besar melarikan diri ke luar negeri, atau menyerah secara sukarela untuk menghindari eksekusi.
Sepuluh orang yang menolak untuk memohon pengampunan diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Pada akhirnya 13 orang dieksekusi: mereka digantung, ditarik hingga mati dan dipotong-potong; yang lainnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau dikeluarkan dari jabatannya seumur hidup.
Mayat Oliver Cromwell, Henry Ireton, dan John Bradshaw menjadi sasaran penghinaan dari eksekusi anumerta.
Sumber : Kompas TV/Associated Press/Brittanica/Historical Royal Palace
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.