TOKYO, KOMPAS.TV - Pembunuhan eks Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 8 Juli 2022 lalu mengguncang masyarakat Jepang yang jarang menyaksikan kekerasan politik. Pembunuhan ini menuai kecaman luas dari publik dan pelakunya, Tetsuya Yamagami, telah ditangkap polisi.
Yamagami disebut nekat membunuh Abe karena keterkaitan politikus itu dengan suatu kelompok kultus agama.
Kelompok yang dimaksud diduga adalah Gereja Unifikasi, gerakan keagamaan yang didirikan pada 1954 oleh Sun Myung Moon, pemimpin religius asal Korea Selatan yang mengaku-aku sebagai juru selamat.
Ibu Yamagami diketahui menjadi jemaah kultus itu dan telah mendonasikan ratusan juta yen. Kegandrungan sang ibu terhadap aktivitas kelompok itu membuat keluarganya tak terurus dan miskin.
Latar belakang Yamagami pun menimbulkan kejutan baru dalam perkembangan kasus pembunuhan Shinzo Abe beberapa pekan terkini.
Menurut laporan Associated Press, Sabtu (27/8/2022), sebagian masyarakat Jepang mulai mencoba memahami latar belakang tersangka berusia 41 tahun tersebut, bahkan menunjukkan simpati.
Baca Juga: Buntut Eks PM Shinzo Abe Terbunuh, Kepala Polisi Jepang Mengundurkan Diri: Kami Butuh Sistem Baru
Orang-orang segenerasi Yamagami, yang juga menderita akibat kelesuan ekonomi dan kekacauan sosial tiga dekade terkini, disebut dapat menautkan penderitaannya dengan penderitaan sendiri.
Walaupun berstatus ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang telah menghadapi kekacauan ekonomi dan disparitas sosial selama tiga dekade (1990-an hingga 2010-an).
Mereka yang tumbuh besar di tahun-tahun itu banyak yang menjadi pekerja berupah rendah dan tak menikah. Yamagami salah satunya.
Menilik latar belakang tersebut, di media sosial Jepang, tak sedikit masyarakat yang mendukung usulan pengiriman bantuan kepada Yamagami di rumah tahanan untuk menghiburnya.
Sebanyak lebih dari 7.000 orang pun telah menandatangani petisi yang meminta keringanan hukuman bagi Yamagami.
Para ahli menyebut kasus Yamagami pun mencerminkan nasib anak-anak lain jemaah kultus seperti Gereja Unifikasi yang kerap ditelantarkan.
“Jika dia tidak menjadi tersangka kejahatan ini (pembunuhan Shinzo Abe), Pak Yamagami akan mendapatkan simpati lebih besar. Banyak orang lain yang juga menderita (karena kepercayaan orang tua),” kata Kimiaki Nishida, profesor psikologi dan pakar studi kultus di Universitas Rissho.
Baca Juga: Shinzo Abe di Antara Abenomics, Kultus Keagamaan, dan Ultranasionalis Nippon Kaigi
Dalam sebuah surat yang didapatkan Associated Press dan twit-twit yang diyakini ketikannya, Yamagami mengaku kehidupan dan keluarganya dihancurkan kultus gereja karena donasi besar ibunya.
“Setelah ibu saya gabung gereja itu (pada 1990-an), seluruh masa remaja saya lenyap, sejumlah 100 juta yen (sekitar Rp10,7 miliar) sia-sia,” tulis Yamagami dalam surat bertulis tangan tersebut.
“Tidak berlebihan untuk mengatakan pengalaman saya pada waktu itu terus mengganggu hidup saya,” lanjutnya.
Ayah Yamagami mati bunuh diri saat usianya baru 4 tahun. Keluarganya yang pernah punya perusahaan konstruksi, dinyatakan bangkrut pada 2002.
Paman Yamagami menyebut ibunya berhenti memberi uang untuk makan dan sekolah anak-anaknya karena mempersembahkan semua uangnya kepada gereja, bukan anak-anaknya sendiri.
Baca Juga: Kisah Hidup Tetsuya Yamagami, Pembunuh Shinzo Abe: Suatu Kelompok Agama Menghancurkan Keluarganya
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.