YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Selama satu setengah abad lebih, komunitas internasional telah mencoba menegakkan perang yang sportif dengan menyorot sisi hak asasi manusia.
Ada banyak pantangan bagi tentara sepanjang berlangsungnya perang, tertera dalam Hukum Perang Internasional. Regulasi ini berakar dari Konvensi Jenewa pertama yang disepakati pada 22 Agustus 1864, atau hari ini, tepat 158 tahun lalu.
Menyitat penjelasan American Red Cross (ARC), Konvensi Jenewa yang mengatur perang diinisiasi oleh Henry Dunant, pengusaha asal Swiss yang kini lebih kondang sebagai bapak Palang Merah Internasional.
Awalnya, pada 1859 Dunant melawat ke Italia demi menghadap Kaisar Napoleon III untuk kepentingan bisnis. Di tengah perjalan menuju Negeri Pizza, ia melihat kengerian Perang Solferino, pertempuran yang kemudian dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Italia Kedua.
Semua ia lihat sepanjang perjalanan dituangkan dalam memoar berjudul A Memory of Solferino.
Lima tahun selepas kunjungan itu, Dunant mengadakan konferensi yang diikuti 16 negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, menghasilkan Konvensi Jenewa pertama 1864. Sejak itu, perang ada aturannya.
Apa itu Hukum Perang?
Dikenal lebih formal sebagai Hukum Humaniter Internasional (IHL), aturan-aturan ini menggambarkan bagaimana seharusnya negara-negara berperang. Kekuatan militer dalam menghancurkan musuh dibatasi dengan asas penghormatan martabat manusia.
Hingga kini, aturan perang telah dikembangkan beberapa kali sejak kemunculannya pada Konvensi Jenewa pertama 1864. Secara esensial, aturan dirancang untuk melindungi pihak non-tentara, membatasi jenis senjata, dan taktik yang dipakai sepanjang perang berlangsung.
Tindakan sengaja menarget warga sipil dan bangunan sipil misalnya, merupakan bentuk kejahatan perang.
Tentara yang tak mampu bertempur karena terluka atau sudah jadi tawanan perang, wajib dilindungi dari serangan.
Selain itu, militer dilarang memakai senjata khusus, seperti bom cluster dan senjata kimia.
Adapun taktik perang tak manusiawi seperti perkosaan massal, membuat musuh kelaparan, penjarahan dan pembangkangan juga dilarang.
Bagaimana militer menerapkan aturan perang?
Aturan perang bersifat universal. Masing-masing negara bertanggung jawab melatih tentaranya untuk berperilaku di medan tempur sesuai hukum perang.
Setiap orang, dari para jenderal selaku perencana dan pemimpin perang, hingga pasukan garda terdepan, seharusnya bertindak dengan tiga prinsip: perbedaan, proporsionalitas, dan tindakan pencegahan.
Prinsip pembedaan mengharuskan pihak-pihak yang berperang dapat membedakan antara tentara lawan dengan warga sipil atau fasilitas publik, seperti rumah, sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
Prinsip proporsionalitas melarang operasi militer berlebihan hingga merugikan warga sipil tanpa kebermanfaatan yang signifikan.
Sementara, prinsip pencegahan mewajibkan tentara berhati-hati ketika bertindak, sehingga bisa menyelamatkan warga sipil dan fasilitas publik sepanjang perang berlangsung.
Baca Juga: Saat Tentara Rusia Pilih Tembak Kaki Sendiri demi Hindari Perang dan Dapat Uang Kompensasi
Lalu, apa yang disebut sebagai kejahatan perang?
Pelanggaran serius dan terus-menerus terhadap hukum perang dapat dianggap sebagai kejahatan perang.
Sengaja menargetkan warga sipil atau fasilitas publik adalah kejahatan perang. Penjarahan, penyanderaan, penghancuran benda-benda budaya dan agama yang tidak sesuai dengan tujuan militer, semuanya adalah kejahatan perang.
Perlakuan dan penyiksaan yang tidak manusiawi adalah kejahatan perang, seperti halnya pemerkosaan dan kekerasan seksual.
Siapa yang wajib menegakkan hukum perang?
Negara-negara berkonflik wajib menjunjung tinggi aturan perang. Militer yang terlibat dalam perang seharusnya menegakkan aturan perang dalam barisan mereka.
Aturan perang adalah tanggung jawab kepada individu, bukan kelompok. Karena alasan itu, seorang prajurit tidak bisa mengklaim hanya mengikuti perintah untuk menghindari tanggung jawab atas kejahatan perang.
Bahkan jika mereka diperintah melakukan kejahatan itu, tentara dan pihak yang memerintahkan, semuanya bersalah atas kejahatan perang.
Secara historis, komunitas internasional membentuk pengadilan kriminal ad hoc untuk menyelidiki kejahatan perang setelah konflik selesai. Adapun pada 2002, pengadilan permanen yang disebut Mahkamah Pidana Internasional (ICC) didirikan untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan perang.
Baca Juga: Ini Prajurit Rusia Pertama yang Disidang atas Kejahatan Perang di Ukraina
Bagaimana kejahatan perang diselidiki?
Tidak selalu mudah menentukan apakah satu pihak dengan sengaja menargetkan warga sipil dan benda-benda sipil, misalnya, atau apakah kehancuran terkait perang adalah hasil dari ketidaksengajaan.
Penyelidik kejahatan perang akan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, tetapi pekerjaan itu secara inheren lebih rumit daripada di masa damai.
Sepanjang perang berlangsung, medan tempur jarang stabil, sementara korban dan saksi kebanyakan mengungsi. Melacak dan menemukan masing-masing adalah tantangan tersendiri.
Penyelidik akan mewawancarai saksi mata dan mencari bukti berupa video atau foto. Jika memungkinkan, mereka bakal melacak komunikasi dan mendapatkan citra satelit yang relevan.
Penyelidikan berlangsung seperti mengumpulkan kepingan puzzle untuk disatukan, hingga bisa dinilai apakah telah terjadi kejahatan perang sepanjang konflik berlangsung.
Kendati bertujuan memanusiakan perang, hukum perang kadang meninggalkan banyak area abu-abu, terhadap interpretasi atas operasi militer yang terkadang merugikan warga sipil.
Selengkapnya tentang Hukum Perang Internasional terbaru dapat diakses melalui laman ini [IHL].
Baca Juga: Ketika Foto Berbicara: Hidup di Tengah Perang Ukraina
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.