ZUG, KOMPAS.TV - Zug bukan Surakarta. Swiss juga bukan Indonesia. Di sini, di provinsi terkaya di Heidiland, wayang kulit tidak dimainkan malam hari. Tapi di siang bolong, di sebuah taman, dan ringkas.
"Semua disesuaikan dengan kondisi setempat," kata Sigit Susanto, satu satunya dalang wayang kulit berbahasa Jerman di Eropa.
Maka, Rabu (8/8/2022) siang itu, halaman belakang Cafe BauHutte, Zug, Swiss, ada perubahan mendadak. Beranda belakang itu kafe itu, dipasang panggung dadakan untuk main wayang kulit. Kursi yang semula menghadap meja bundar, di arahkan ke panggung.
Pengunjung tidak lagi hanya menikmati kopi, tapi juga ini, pagelaran wayang kulit Ramayana dan Dewa Ruci. "Masing -asing lakon saya ringkas jadi 20 menit," imbuh Sigit.
Musiknya dari telepon pintar, layarnya juga tidak ada. Batang pisang, sebagai penancap wayang kulit, diganti jerami. "Pohon pisang, pohon langka di sini," tegas Sigit. Mengorbankan pohon pisang sebagai tancapan wayang kulit, bisa membuat publik Swiss jengah.
Wayangnya juga tidak selengkap pagelaran wayang kulit di tanah air. Namun semua tokoh lakon Sinta Obong dalam epos Ramayana, tersedia. Termasuk kijang kencana, binatang jadi-jadian yang menggoda Dewi Sinta.
"Itu pun pinjam sana sini. Ada juga pinjaman dari KJRI Frankfurt. Ada pula dari KBRI Bern," tambah laki-laki kelahiran Boja, Kendal, Jawa Tengah ini. Pinjaman dari beberapa teman, imbuh Sigit, juga datang.
Kesederhanaan itu tidak mengurangi perhatian sedikitnya 50 pengunjung Cafe BauHutte. Sesekali mereka tertawa, ketika Ki Dalang Sigit Susanto mengungkapkan keinginan seorang raksasa yang nafsu memakan daging manusia. Atau terkejut saat Sigit menirukan suara kera putih Hanoman.
Media lokal juga tertarik dengan wayang kulit ala Sigit. Terlihat ada televisi setempat yang mewawancarainya.
"Saya pernah melihat wayang kulit di Vietnam. Tapi apa yang dibawakan Sigit, tetap paling menarik. Ada lucunya juga," kata Linda, salah satu penonton.
Sigit menggelar pertunjukkan wayang kulit di Zug, Swiss, sebagai persiapan sebelum bermain di Frankurt Weltkultur Museum, 20 Agustus mendatang. "Sebagai penjajakan bagaimana reaksi penonton Eropa dengan sajian wayang di siang hari," katanya.
Dialognya berbahasa Jerman. Namun suluk, seperti bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap katon, tetap menggunakan bahasa Jawa. "Agar ruh wayang kulit, tidak semua hilang," katanya.
Arthy, penonton yang berdarah Srilanka, mengaku melihat kesamaan antara kisah Sinta Obong di negaranya dengan yang dimainkan Sigit.
"Kalau di Srilanka, Rahwana itu dianggap pahlawan,“ kata Arthy.
Kendati agak berbeda, bagi Arthy, keinginan Sigit untuk menyampaikan falsafah Wayang Kulit ke publik Eropa, tersampaikan. "Dia juga berbakat, pintar memainkan wayangnya," imbuh Arthy.
Sigit mengaku tidak mudah memainkan wayang open air. Ketiadaan layar, menyulitkan ketika adegan perang. "Tidak ada sandarannya, apalagi kalau diterbangkan atau salto, lebih rumit," akunya. Namun, Sigit berani mensaltokan Rahwana dalam salah satu adegannya.
Septin Wijayanti, salah satu warga Indonesia di Zug, Swiss, mengaku bangga ada orang Indonesia yang berani melakukan terobosan. "Memainkan wayang kulit di depan publik yang tidak kenal budaya ini. Juga dengan bahasa Jerman, harus memilki keberanian tersendiri," kata Septin.
Setelah dari Frankurt, Sigit akan terus mendalang untuk publik Swiss. "Ada yang minta di kebun pribadinya. Atau di ruang tamunya,“ akunya.
Panggung kecil itu, meski hanya akan ditonton puluhan penonton, kata Sigit, pesan kebudayaannya lebih bermakna.
KBRI Bern, masih kata Sigit, juga akan mengundangnya jika ada kegiatan budaya di Swiss. "Saya siap saja, yang penting mengenalkan wayang ke publik Swiss, tercapai," kata Sigit.
Sigit Susanto adalah warga negara Indonesia yang sudah 25 tahun menetap di Zug, Swiss. Sehari-hari bekerja paruh waktu di resto cepat saji. Namun jika ada panggilan, dia siap menjadi dalang satu-satunya di Eropa yang berbahasa Jerman. (Krisna Diantha)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.