Bukti-bukti itu harus menunjukkan adanya ancaman kematian atau cedera mengerikan yang segera terjadi, baik bagi pengguna kekuatan atau pihak yang dilindungi oleh pengguna kekuatan.
“Tapi di sini juga, tidak ada otoritas hukum dalam hukum internasional untuk membunuh teroris berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu organisasi teroris, atau status mereka sebagai ‘teroris’,” kata Martin.
Baca Juga: Setelah Bunuh Bos Al Qaeda, AS Minta Warganya Waspadai Serangan Balik
Dia mengatakan, pemerintah AS sejak lama sudah mengambil posisi bahwa kewajiban-kewajibannya dalam HAM di bawah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk hak untuk hidup, tidak berlaku di luar wilayahnya.
“Dengan kata lain, dia (pemerintah AS) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran terhadap hak untuk hidup Zawahiri karena dia (Zawahiri) tidak berada ‘di dalam teritori dan di bawah yurisdiksi’ Amerika Serikat.”
Dalam esainya, Martin juga menyorot penggunaan kekuatan terhadap Afghanistan, negara yang sedang tidak terlibat konflik bersenjata dengan AS.
“Jika Amerika Serikat terlibat dalam konflik bersenjata internasional dengan Afghanistan, seperti pada 2001-2002, maka serangan itu (terhadap Zawahiri) dapat disebut bagian dari permusuhan itu,” katanya.
Sama halnya jika AS terlibat konflik bersenjata non-internasional dalam wilayah Afghanistan, dengan persetujuan dari pemerintah Afghanistan, seperti yang terjadi dalam dua dekade terakhir, serangan itu, kata Martin, dapat disebut bagian dari permusuhan.
Masalahnya, kata dia, pasukan AS sudah ditarik mundur dari Afghanistan pada 2021 lalu dan perang di sana sudah berakhir.
“Sebuah serangan rudal dari suatu drone yang menewaskan orang-orang dalam wilayah sebuah negara merupakan penggunaan kekuatan terhadap negara tersebut, kecuali negara itu telah memberikan persetujuan atas serangan tersebut,” kata Martin.
Ia mengatakan penggunaan kekuatan tanpa persetujuan dari negara yang menjadi target, dilarang di bawah Pasal 2 (4) Piagam PBB, kecuali diizinkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Baca Juga: Serangan Drone AS Tewaskan Anak-Anak, Warga Afghanistan Berang
Martin menegaskan bahwa ia tidak mengeklaim bahwa serangan terhadap Zawahiri melanggar hukum dalam kerangka hukum internasional.
“Tapi ini … memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius yang mesti dijawab untuk menyatakan baik pembunuhannya (Zawahiri) maupun penggunaan kekuatan terhadap Afghanistan, bukan pelanggaran hukum internasional.”
Berbeda dengan Martin, Marjorie Cohn, professor emeritus di Thomas Jefferson School of Law, California, AS, dengan tegas menilai serangan drone terhadap Zawahiri adalah ilegal.
“Fakta bahwa Zawahiri tidak menimbulkan ancaman yang segera terjadi adalah alasan pembunuhannya ilegal,” tulis Cohn dalam tulisannya di laman LA Progressive.
Dia mengatakan, pembunuhan yang ditargetkan atau yang bersifat politis, merupakan eksekusi di luar proses hukum (extrajudicial executions).
Eksekusi di luar proses hukum, kata Cohn, dilarang menurut Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh AS.
Cohn juga menyatakan pembunuhan yang disengaja merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa dan dapat dihukum sebagai sebuah kejahatan perang di bawah hukum AS sendiri yaitu Undang-Undang Kejahatan Perang.
“Pembunuhan yang ditargetkan dinyatakan sah hanya ketika dianggap diperlukan untuk melindungi nyawa, dan tidak ada cara lain (termasuk penangkapan atau pelumpuhan yang tidak mematikan) yang tersedia untuk melindungi nyawa,” tulisnya.
Cohn mendesak AS mengakhiri ‘perang global melawan teror’. Serangan-serangan drone, kata dia, telah meneror dan membunuh banyak warga sipil dan membuat AS semakin rentan terhadap serangan terorisme.
Menurut kelompok pemantau yang berpusat di Inggris, Airwars, sejak 2001, serangan drone dan udara AS telah mengakibatkan sedikitnya 22.679 warga sipil tewas. Angka tersebut berpotensi mencapai 48.308 warga sipil.
“Jarak antara dua angka ini mencerminkan banyaknya yang kita tidak ketahui tentang korban warga sipil dalam perang,” tulis Airwars dalam analisis yang dirilis pada 6 September 2021.
“Kami menemukan bahwa AS telah mengumumkan sedikitnya 91.340 serangan di tujuh zona konflik besar.”
Ketujuh zona konflik itu adalah Irak, Suriah, Afghanistan, Somalia, Yaman, Pakistan, dan Libya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.