BASEL, KOMPAS.TV - Gerimis mulai jatuh di Leonhardstrasse 6, Basel, Swiss di penghujung Juni. Hujan angin juga diramalkan datang menjelang lepas siang. Namun semua itu tidak menyurutkan Nyoman Sudiatmika bersama istri dan anaknya, untuk datang.
"Bulu kuduk saya berdiri kalau mendengar ini," katanya kepada KOMPAS.TV.
Nyoman menempuh perjalanan 1,5 jam dari kediamannya di tepi Danau Thun, 125 km dari Leonhardstrasse.
"Luar biasa mereka mainnya," kata lelaki yang di tanah kelahirannya, Bali, juga seorang penabuh gamelan itu.
Baca Juga: Kabar Baik, Gamelan Ditetapkan Jadi Warisan Budaya Dunia
Lebih mengagetkan diungkapkan Alexandra. "Saya datang dari Berlin," akunya.
Jika Nyoman bisa langsung pulang dari Basel ke Thun, atau sebaliknya, Thun ke Basel, Alexandra harus menginap di Basel. Dari Berlin ke Basel, jaraknya sekitar 900 km, 8 jam perjalanan dengan mobil.
Begitu juga Pascal dan Marc, yang memerlukan tiga jam perjalanan dari Jenewa ke Basel. Atau Amandine, yang terbang langsung dari London, Inggris.
Semua jerih payah itu dilakukan karena satu hal, cinta Indonesia, melalui Gamelan Community Gathering (GCG).
"Ini memang semacam reuni penabuh gamelan Bali, setelah lama, karena Corona, tertunda-tunda," kata Carla Barzell, salah satu panitia, dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Bersama Sara, sejawatnya, Carla bahu-membahu melaksanakan acara ini.
"Kalau di London atau Amerika, gampang untuk latihan bersama. Di sini, Basel, Freiburg, atau kota Eropa lainnya, sangat susah,“ kata Carla. "Kami hanya bisa iri dengan rekan-rekan di London atau Amerika, yang bisa menemukan banyak grup gamelan,“ imbuhnya.
Maksud Carla, di London dan Amerika, Orkestrasi Gamelan, tumbuh subur dan berkembang. Di Freiburg, khususnya Orkestrasi Gamelan Anggur Jaya, tempat Carla berlatih, tidak banyak peminat.
Ada sekitar 25 penabuh gamelan Bali berkumpul di Basel Music Academy. Sebagian besar di antaranya sudah pernah ke Bali, sekaligus belajar musik tradisional Pulau Dewata itu di tanah kelahirannya.
Beberapa di antaranya bisa memainkan alat musik yang tergolong sulit, seperti gangsa dan kendang. Carla dan Martin contohnya.
Tetapi Alexandra, sama sekali belum pernah menginjak Bali.
"Tentu saja saya ingin, suatu saat, ke Bali," katanya.
"Bagaimana musik ini dimainkan disana, bagaimana ruh yang muncul disana, saya ingin sekali menikmatinya," imbuh Alexandra.
Kendang, alat musik yang paling sulit, aku Alexandra, suatu saat juga ingin dikuasainya. "Ya, itu termasuk Königklasse (paling utama),“ katanya.
Saat ini, Alexandra cukup puas bisa memainkan Gangsa, dalam orkestrasi Gong Gebyar.
Beberapa pemain lain, Martin, Sigrid, Marc, Pascal, Amandine, juga Sarah dan Carla, selalu merindukan Pulau Dewata. Setiap ada kesempatan, mereka ingin melewatkan liburan ke Pulau Dewata.
"Dalam waktu dekat mungkin belum, tetapi pasti saya ke Bali lagi," kata Sigrid, salah satu pemimpin Anggur Jaya.
Terdapat dua seniman asli Bali yang ikut acara ini, yakni Ni Nyoman Inten dan Wayan Pica. Inten tampil sebagai penari, sekaligus membagikan pengalamannya kepada publik Swiss.
"Kalau tidak ada grup ini, saya sudah pulang ke Bali dari dulu," kata Inten.
Sementara Wayan Pica memainkan gendang. Pica, yang dikenal luas di kalangan penabuh gamelan Bali di Eropa, tampil mengagumkan. Padahal, Pica tidak ikut latihan sehari sebelumnya, sebagaimana lainnya.
Carla mengonsep acara ini serius. "Namun santai,“ katanya.
Busana pemainnya sekadar kaos oblong. Make up juga tidak banyak. "Kecuali penarinya," imbuhnya.
Mereka memainkan Gong Kebyar, Gender Wayang, Rindlik, juga Gambuh, siang itu.
"Gong Kebyar kami pilih karena lebih modern, lebih improvisasi,“ kata Carla.
"Dan sangat dinamis, saya senang juga yang spontan. Saya orangnya gitu,“ imbuh Carla.
Penonton yang datang cukup banyak. Grosse Saal Basel Music Academy penuh, namun tersaring.
Eva Christiane von Reumont, salah satunya. Calon professor Wayang Kulit ini, datang dari Freiburg, memang untuk mengamati permainan ini.
"Saya memang lebih akrab dengan gamelan wayang kulit Jawa. Namun saya tercekat begitu menyaksikan permainan mereka, terutama ketika memainkan Gong Kebyar, “ kata Eva.
Baca Juga: KBRI Tokyo Gelar Festival, Ratusan Warga Jepang Nobar Wayang Kulit dan Gamelan
Jika di Bali sering didiskusikan munculnya Taksu, aura magis, ketika memainkan gamelan Bali, Carla tersipu-sipu ketika ditanyakan itu.
"Tidak sebanyak di Bali. Namun ada beberapa menit tertentu, bisa muncul aura itu,“ katanya.
Orang Eropa, imbuh Carla, yang cenderung hidup dalam banyak aturan, kerap memainkan gamelan seperti ketika bermain musik klasik.
"Saya sering anjurkan mereka santai, having fun, namun serius. Di situ nanti akan muncul harmoni, akan ada taksu, meskipun hanya beberapa menit,“ katanya.
Gde Suartana, ketua Bale Banjar Swiss, perkumpulan komunitas Hindhu Darma di Swiss, menyambut gembira kegiatan ini.
"Tentu saja saya bangga sekali. Ada orang asing yang mau mempelajari dan melestarikan budaya Bali," ujar Suartana.
Siang itu, mengalunlah satu demi satu repertoar klasik gamelan, dari Jayaprana, Margapati, hingga Hujan Mas.
Dan Basel, meskipun akhirnya diguyur hujan deras, tetap memendarkan sepotong aura Bali di Heidiland.
(Krisna Diantha - Swiss)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.