KAIRO, KOMPAS.TV - Sungai Nil, salah satu sungai terpanjang di dunia yang melintasi Mesir, mewariskan banyak budaya.
Salah satunya rumah apung, rumah-rumah yang berdiri di atas perahu dan mengapung di sepanjang pesisir sungai itu.
Baru-baru ini, pemerintah Mesir berupaya menghancurkan warisan budaya tersebut dengan dalih mempercantik sungai. Kebijakan pemerintah menuai protes dari warga.
Awal bulan ini, pusat administrasi mengeluarkan surat perintah pemindahan lebih dari 30 rumah apung di daerah Kit-Kat, di lingkungan Giza, Kairo,
Pada Senin (27/6/2022), empat rumah apung telah disingkirkan oleh polisi Nil dan dengan segera satu rumah apung lainnya dipindah pada Selasa (28/6).
Baca Juga: Pemuda Arab Ramai-Ramai Pakai Obat Anti-Impoten Buatan Barat, Apa Penjelasannya?
Omar Robert Hamilton, seorang penulis yang keluarganya tinggal di rumah apung membagikan ceritanya melalui akun Twitter.
"Telah kembali ke Kairo karena rumah keluarga saya - sebuah rumah apung di Sungai Nil - telah menerima perintah penghancuran," terang Hamilton.
"Selama empat tahun, berbagai senjata negara berusaha memaksa warga keluar agar bisa mengkomersialkan jalur kecil sungai ini," lanjutnya.
Adapun Hamilton menjelaskan, warga hanya diberi waktu seminggu sejak pengumuman dikeluarkan, untuk lekas pergi dari rumah apung itu.
They have destroyed a boat a few houses to the north of us and are dragging it away.
— Omar Robert Hamilton (@ORHamilton) June 27, 2022
That’s four impounded and one smashed up today.
All one day before the first demolition order date. pic.twitter.com/7S5pac5pRF
Ekhlas Helmy, penduduk tertua yang tinggal di rumah apung, meminta Presiden Mesir Abdul Fattah el-Sisi untuk membatalkan keputusan penghancuran massal.
"Saya tidak memiliki ingatan jauh dari Sungai Nil, saya lahir di sini dan tinggal di sini selama 87 tahun," ungkap Helmy via Facebook.
"Mereka mengklaim bahwa saya tidak membayar izin, tetapi pada kenyataannya, pihak berwenang menolak untuk menerima uang dan mengatakan bahwa perpanjangan izin ditangguhkan," lanjutnya.
"Di zaman sekarang ini, saya ingin menjalani sisa hidup dengan damai," tandasnya.
Baca Juga: Jelang ke Ukraina & Rusia, PM Italia Sebut Jokowi Didemo Anggota G7
Seperti diberitakan Midddle East Eye, setidaknya terdapat 600 rumah apung di Sungai Nil hingga tahun 1960-an yang dihuni penulis, musisi, tokoh media dan mata-mata serta politisi asal Inggris hingga Jerman.
Namun, selepas tahun tersebut, warga mulai meninggalkan rumah apung karena pemerintah memindah mereka ke utara sungai dekat dengan Imbaba, salah satu lingkungan kelas pekerja Kairo.
Terlepas dari itu, peraih nobel Naguib Mahfouz dalam salah satu novelnya, Adrift on the Nile, juga mengisahkan tentang rumah apung.
Ia menulis ihwal sekelompok orang yang berkumpul tiap malam di sebuah rumah apung hanya untuk merokok, melambangkan kemerosotan masyarakat Mesir selama era pemerintahan Presiden Gamal Abdel-Nasser.
Novel itu telah diadaptasi menjadi film berjudul "Chitchat on the Nile" pada 1971.
Baca Juga: Rusia Sudah Tembakkan 2.811 Rudal Ke Ukraina
Sumber : Kompas TV/Middle East Eye
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.