WARSAWA, KOMPAS.TV - Penyerangan Rusia ke Ukraina ternyata dimanfaatkan jaringan perlawanan bawah tanah Belarusia untuk melakukan perlawanan.
Mereka menyabotase perang Presiden Rusia Vladimir Putin di Ukraina dan menyiapkan revolusi untuk melengserkan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko.
Jaringan perlawanan yang terdiri mantan pejabat, aktivis, peretas, dan warga sipil Belarusia itu telah masuk begitu dalam ke perang Rusia Ukraina.
Gerakan mereka bertujuan untuk membantu warga Ukraina mengalahkan Rusia, yang telah menginvasi negara itu sejak 24 September lalu.
Baca Juga: Zelensky: 113 Gereja di Ukraina Telah Dihancurkan Rusia Sejak Awal Invasi
Dikutip dari ABC News, jaringan perlawanan itu percaya jika Rusia kalah di Ukraina, rakyat Belarusia juga semakin dekat dengan kebebasan.
Lukashenko sendiri merupakan sekutu terdekat Putin, yang juga memiliki andil dalam penyerangan ke Ukraina.
Sejumlah pasukan Rusia dilaporkan memasuki Ukraina melalui perbatasan dengan Belarusia.
Jaringan perlawanan bawah tanah tersebut pun mulai mendapat momentum dan telah memformulasikan rencana rahasia untuk mengoordinasikan pemberontakan terhadap rezim Lukasheko.
Pemimpin jaringan perlawanan bawah tanah Belarusia mengatakan, keputusan itu dibuat untuk memulai operasi sabotase lebih awal demi menghambat upaya Putin di Ukraina.
Selain itu, membantu mempertahankan Kiev dan akhirnya melemahkan Rusia.
Terinspirasi oleh nenek moyang mereka yang menghancurkan jaringan rel kereta dan garis pasokan Nazi di Perang Dunia II, jaringan perlawanan bawah tanah Belarusia juga melakukan hal yang sama.
“Aktivis kami menghancurkan kota penghubung dan sinyal pusat,” ujar pemimpin jaringan perlawanan tersebut yang juga mantan perwira polisi Belarusia Aliaksandr Azarau.
“Tindakan ini mengakibatkan lalu lintas di jalur kereta api melambat dan pada pekan pertama tindakan kami, kereta api Rusia berhenti bergerak sama sekali,” tambahnya.
Azarau kini tinggal di Warsawa, Polandia dan memimpin BYPOL, organisasi dari mantan petugas penegak hukum yang berkeinginan mengembalikan demokrasi serta keteriban hukum di Belarusia.
BYPOL merupakan pihak yang melakukan investigasi atas aksi polisi di Belarusia saat unjuk rasa melawan rezim Lukashenko pada 2020.
Baca Juga: Menteri Pertahanan Ukraina Optimistis, Perang Lawan Rusia Bakal Usai Akhir Tahun Ini
Ketika itu mereka menemukan polisi menggunakan senjata bergaya militer milik Rusia sebagai bukti penyiksaan terhadap para demonstran.
Azarau pun menegaskan dengan sabotase yang mereka lakukan di jalur kereta Belarusia yang mengarah ke Ukraina, ternyata menyulitkan pasukan Rusia.
“Kemacetan besar terjadi, kereta berjalan perlahan di Belarusia. Akibatnya, kereta Rusia yang membawa pasokan, peralatan, dan senjata tak bisa mencapai tujuan tepat waktu,” katanya.
“Tentara Rusia di dekat Kiev tak menerima amunisi tepat waktu. Pasukan Rusia pun sering meninggalkan mesin militernya dan memilih kembali ke Rusia,” tambah Azarau.
Kelompok Partisan Siber, yang merupakan sekelompok peretas yang ikut melawan Lukashenko, juga turut serta dalam serangan itu.
“Sejumlah partisan memutuskan ikut menyerang kereta api untuk memperlihatkan rakyat Belarusia tak setuju dengan fakta tentara Rusia bisa dengan mudah datang dari wilayah Belarusia,” kata perwakilan kelompok itu Yuliana Shemetovets.
“Juga untuk menunjukkan bahwa Lukashenko bukan rekan yang tepat untuk negara mana pun, tak hanya Eropa, tetapi juga Rusia, karena ia tak mampu mengamankan pergerakan barang dan kereta di wilayahnya,” lanjut Yuliana.
Partisan Siber juga turut membantu memberikan informasi kepada tentara Rusia, terkait data tentara Belarusia dan pergerakan perlengkapan Rusia di wilayah Belarusia.
Baca Juga: Seorang Akademisi di London Yakin Putin Terancam Kudeta Para Jenderal Rusia
Lukashenko sendiri menjadi Presiden Belarusia sejak 1994, dan berkuasa hingga saat ini.
Ia pun dijuluki diktator terakhir di Eropa.
Lukashenko mempertahankan pemerintahannya, setelah memenangi pemilihan umum 2020 yang dilaporkan sarat dengan kecurangan.
Hal itu yang kemudian menimbulkan demonstrasi besar di Belarusia pada 2020, yang ditanggapinya secara represif.
Sumber : ABC News
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.