WASHINGTON, KOMPAS.TV - Otoritas legislatif Amerika Serikat (AS) kembali disorot usai penembakan massal yang menewaskan 19 anak sekolah dasar dan dua orang dewasa di Uvalde, Texas, Selasa (24/5/2022) lalu.
Berbagai pihak menyorot antengnya otoritas atas hukum kepemilikan senjata api yang bebas kendati penembakan massal berulangkali terjadi.
Pembantaian anak sekolah di Uvalde mengingatkan publik atas pembantaian anak sekolah dasar di Sandy Hook, Connecticut pada 2012 silam. Waktu itu, penembakan massal menewaskan 27 orang, termasuk 20 anak-anak.
Penembakan massal di Uvalde juga terjadi hanya beberapa hari setelah peristiwa serupa di Buffalo, New York yang menewaskan 10 orang.
Pada Rabu (25/5), sehari setelah pembantaian Uvalde, Pemimpin Mayoritas Senat AS Chuck Schumer melontarkan kembali sepasang rancangan undang-undang pengecekan latar belakang dalam kepimilikan senjata api.
Baca Juga: Stephen Curry soal Penembakan Texas: Saya Punya Anak, Tak Bisa Bayangkan Rasa Sakitnya
Schumer mendesak Kongres segera meninggalkan sikap penolakannya terhadap rancangan undang-undang yang diniatkan untuk memberantas epidemi kekerasan senjata api.
Schumer memohon kolega Senat-nya dari Partai Republikan untuk mengesampingkan lobi senjata yang kuat dan mencapai rancangan paling kompromis sekali pun untuk mengendalikan senjata api. Namun, belum ada jadwal voting rancangan undang-undang yang disepakati Kongres.
“Mohon, mohon, mohon—sialan! Coba taruh dirimu di posisi para orang tua (korban pembantaian Uvalde) sekali saja,” katanya kepada Senat sebagaimana dikutip Associated Press.
“Jika pembantaian anak-anak sekolah tidak bisa meyakinkan Republikan untuk melawan NRA, apa yang bisa kami lakukan?” lanjutnya.
NRA atau Asosiasi Senapan Nasional AS adalah organisasi dengan lobi senjata terkuat di Negeri Paman Sam. Tekanan politisnya membuat hukum kepemilikan senjata api masih bebas di negara itu kendati pembantaian berulangkali terjadi.
Baca Juga: Jerman Kutuk AS Soal Penembakan Anak SD di Texas: Senjata Api Harus Dilucuti!
Bertahun-tahun lalu, Kongres AS juga gagal menyepakati undang-undang yang memperketat senjata api usai peristiwa Sandy Hook, 10 tahun lalu. Meskipun peristiwa serupa berulang di Texas, belum ada tanda-tanda bahwa Kongres tergerak membatasi senjata api.
“Kita mulai menerima hal ini (kekerasan senjata api) sebagai normal baru. Ini adalah pilihan kita,” kata Senator Chris Murphy menanggapi kekerasan senjata api dalam program “CBS Mornings”.
Presiden AS Joe Biden sendiri menegaskan otoritas legislatif dan eksekutif “harus bergerak” mengakhiri kekerasan senjata api. Namun, rancangan undang-undang yang mengatur senjata api secara substansial selama ini ditolak oleh kelompok Republikan, bahkan sejumlah politikus Demokrat juga menolaknya.
Sementara itu, Senator Cory Booker dari Republikan mengaku jengah dengan kebuntuan yang membuat kekerasan senjata api tak teratasi.
“Kesimpulannya selalu sama. Saya tidak yakin ada senator Republikan sekarang yang mau maju dan berkata, ‘Ini rencana untuk menghentikan pembantaian.’ Jadi ini (penembakan massal) menjadi normal sekarang, benar-benar bodoh,” kata Booker.
Pembahasan kontrol senjata yang selalu buntu membuat berbagai pihak mendesak Senat menurunkan ambang batas suara menjadi 51 suara untuk meloloskan rancangan undang-undang, sebelumnya 60 suara.
“Kenapa kamu mau repot-repot mendapatkan pekerjaan ini (sebagai senat), membawa dirimu ke posisis otoritatif jika jawabanmu ketika pembantaian meningkat, ketika anak-anak kita berlarian menyelamatakan nyawa sendiri, kita tidak melakukan apa-apa?” demikian kata Senator Chris Murphy kepada koleganya ketika kabar pembantaian Uvalde menyebar, Selasa (24/5) lalu.
Baca Juga: Kepanikan Luar Biasa Keluarga Mencari Anaknya Usai Penembakan Massal Tewaskan 19 Siswa SD di Texas
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.