“Ini adalah protes damai,” kata Pasindu Senanayaka, seorang pengunjuk rasa anti-pemerintah.
“Mereka menyerang Gota Go Gama dan membakar tenda.”
“Kami tidak berdaya sekarang, kami memohon bantuan,” kata Senanayaka, ketika asap hitam membumbung dari tenda yang terbakar di dekatnya dan kamp unjuk rasa berantakan akibat serangan.
Baca Juga: Sri Lanka Memanas, Krisis Ekonomi Picu Mogok Nasional Tuntut Pemerintah Mundur
Puluhan pasukan paramiliter dengan perisai antihuru-hara dan helm, dikerahkan untuk memisahkan kedua kelompok setelah bentrokan awal terjadi. Tentara mengatakan pihaknya juga mengerahkan tentara di daerah tersebut.
"Sangat mengutuk tindakan kekerasan yang terjadi oleh mereka yang menghasut & berpartisipasi, terlepas dari kesetiaan politik," kata Presiden Rajapaksa dalam sebuah cuitan di Twitter.
“Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah saat ini.”
Dihantam keras oleh pandemi Covid-19, kenaikan harga minyak dan pemotongan pajak, Sri Lanka hanya memiliki cadangan devisa yang dapat digunakan sebesar USD50 juta (sekitar Rp727 miliar), kata Menteri Keuangan Ali Sabry, pekan lalu.
Pemerintah Sri Lanka mendekati Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapat bantuan bailout, dan akan memulai pertemuan puncak virtual pada Senin dengan pejabat IMF yang bertujuan untuk mengamankan bantuan darurat.
Menghadapi meningkatnya protes anti-pemerintah, pemerintahan Mahinda pekan lalu mengumumkan keadaan darurat untuk kedua kalinya dalam lima minggu terakhir, tetapi ketidakpuasan publik terus membara.
Baca Juga: Cadangan Devisa Hanya Tersisa Rp 719 Miliar, Sri Lanka Diambang Kebangkrutan
Antrean panjang rakyat Sri Lanka untuk membeli gas untuk memasak dalam beberapa hari terakhir sering berubah menjadi protes dadakan karena konsumen yang frustrasi, marah dan memblokir jalan.
Perusahaan energi domestik mengatakan, mereka kehabisan stok bahan bakar gas cair yang terutama digunakan untuk memasak.
Sri Lanka membutuhkan setidaknya 40.000 ton gas setiap bulan, dan tagihan impor bulanan akan menjadi USD40 juta dengan harga saat ini.
“Kami adalah negara yang bangkrut,” kata W.H.K Wegapitiya, ketua Laugfs Gas, salah satu dari dua pemasok gas utama negara itu.
“Bank tidak memiliki cukup dolar bagi kami untuk membuka jalur kredit dan kami tidak bisa pergi ke pasar gelap. Kami berjuang untuk menjaga bisnis kami tetap bertahan.”
Sumber : Kompas TV/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.