KOLOMBO, KOMPAS.TV - Setidaknya 41 anggota parlemen Sri Lanka hari Selasa, (5/4/2022) mundur dari koalisi yang berkuasa, meninggalkan pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa sebagai minoritas di parlemen yang sedang berjuang melawan krisis ekonomi terburuk negara itu sejak merdeka tahun 1948, seperti laporan Straits Times, Selasa, (5/4/2022).
Keadaan makin runyam saat menteri keuangan yang baru, Ali Sabry, mundur hanya satu hari setelah diangkat dan terjadi menjelang pembicaraan penting dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membahas program pinjaman.
“Saya yakin telah bertindak demi kepentingan terbaik negara, dan pada saat yang genting ini negara membutuhkan stabilitas untuk menghadapi krisis dan kesulitan keuangan saat ini,” kata Sabry dalam surat pengunduran dirinya.
Rajapaksa membubarkan kabinetnya hari Senin dan berusaha membentuk pemerintahan persatuan saat rakyatnya melakukan kerusuhan massal.
Massa memprotes cara keluarga yang berkuasa, Rajapaksa, menangani ekonomi yang condong ke impor dan hutang luar negeri, menyebabkan Sri Lanka kekurangan devisa dan mata uang dollar AS saat harus melakukan impor kebutuhan dasar.
Demonstrasi jalanan menentang kelangkaan yang dipicu oleh kurangnya devisa untuk melakukan impor, dimulai bulan lalu dan meningkat serta makin panas beberapa hari terakhir, menyebabkan bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi dalam beberapa kasus.
Baca Juga: Krisis Ekonomi Sri Lanka Memburuk, Presiden Dituding Tak Mampu dan Sombong
Negara berpenduduk 22 juta orang itu menderita kekurangan parah untuk makanan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya, dibarengi rekor inflasi dan pemadaman listrik yang melumpuhkan.
Rentetan kekurangan bahan bakar, gas, bahan makanan dan kenaikan harga menimbulkan kesengsaraan yang meluas di seluruh negara kepulauan, dalam krisis paling parah sejak merdeka dari Inggris tahun 1948.
Para anggota parlemen yang mundur dari koalisi yang berkuasa sekarang menjadi anggota parlemen independen, meninggalkan pemerintahan Rajapaksa.
Saat ini kursi koalisi penguasa Sri Lanka di parlemen kurang dari 113 kursi yang dibutuhkan untuk mempertahankan mayoritas di parlemen beranggotakan 225 kursi.
Koalisi penguasa Sri Lanka memenangkan 145 kursi dalam pemilihan parlemen terakhir.
Hingga saat ini belum ada pemungutan suara di parlemen untuk hal apapun, dan bila terjadi, akan membuat pengambilan keputusan menjadi makin menantang untuk pemerintahan minoritas Rajapaksa.
Namun, anggota parlemen independen dapat terus mendukung usulan pemerintah di DPR.
Baca Juga: Sri Lanka Berlakukan Jam Malam di Seluruh Negeri Usai Umumkan Keadaan Darurat Nasional
“Ada kekurangan yang tak ada habisnya dari kebutuhan pokok termasuk bahan bakar dan gas untuk memasak. Rumah sakit di ambang penutupan karena tidak ada obat-obatan,” kata Maithripala Sirisena, pemimpin Partai Kebebasan Sri Lanka yang menarik dukungannya untuk koalisi Rajapaksa.
“Pada saat seperti itu, partai kami berada di pihak rakyat.” kata Maithripala di depan parlemen.
Indeks Semua Saham Bursa Efek Kolombo melonjak lebih dari 5 persen karena anggota parlemen membuat posisi mereka jelas di dalam parlemen.
Sirisena, bersama dengan anggota parlemen lainnya, meminta Presiden Rajapaksa dan kakak laki-lakinya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, membeberkan rencana yang jelas untuk menemukan penyelesaian atas kekacauan keuangan Sri Lanka.
Tetapi partai-partai oposisi, yang mencerminkan suasana gelombang protes negara berpenduduk 22 juta orang itu, mendesak presiden dan perdana menteri untuk mundur.
Mereka juga menolak langkah Presiden Rajapaksa hari Senin untuk membentuk pemerintah persatuan yang terdiri dari semua partai yang diwakili di parlemen.
Baca Juga: Sri Lanka Umumkan Keadaan Darurat usai Krisis Ekonomi Terparah Picu Unjuk Rasa Besar
“Tidak boleh ada suara yang bertentangan dengan suara di jalanan. Dan suaranya adalah harus ada perubahan,” kata Sajith Premadasa, pemimpin Samagi Jana Balawegaya, aliansi oposisi utama Sri Lanka.
“Yang diinginkan rakyat adalah presiden ini dan seluruh pemerintahan mundur.”
Sekelompok kecil orang berunjuk rasa di dekat parlemen, dimana polisi berjaga dengan gas air mata dan meriam air.
“Jika pemerintah kehilangan mayoritasnya, Anda bisa melihat oposisi membawa mosi tidak percaya tetapi ada prosedur parlemen yang yang membuat hal itu tidak mungkin terjadi segera,” kata pengacara Luwie Niranjan Ganeshanathan, pakar dalam masalah konstitusi.
Jika mosi tidak percaya diadopsi, maka presiden dapat menunjuk perdana menteri baru, katanya.
Oposisi juga dapat mengajukan resolusi untuk membubarkan parlemen dan menyerukan pemilihan umum segera, tambah Ganeshanathan.
Partai-partai oposisi dan bahkan anggota aliansi penguasa Rajapaksa menolak langkah membentuk pemerintah persatuan.
Baca Juga: Krisis Ekonomi Sri Lanka Makin Parah, Dua Orang Meninggal saat Antre Minyak Tanah
Pemerintah memberlakukan keadaan darurat Jumat lalu untuk memadamkan protes publik dan akan berakhir hari Kamis minggu depan kecuali jika keadaan darurat disahkan dalam pemungutan suara parlemen.
Kekurangan mata uang asing yang kritis membuat Sri Lanka berjuang untuk melunasi utang luar negerinya yang membengkak sebesar 51 miliar dollar AS, diperparah pandemi Covid-19 yang merusak pendapatan utama Sri Lanka dari sektor pariwisata dan pengiriman uang.
Akibatnya, terjadi kelangkaan pangan dan bahan bakar yang belum pernah terjadi sebelumnya berbarengan dengan rekor inflasi dan pemadaman listrik yang melumpuhkan, tanpa tanda-tanda berakhirnya kesengsaraan ekonomi.
Para ekonom mengatakan krisis Sri Lanka diperburuk oleh salah urus pemerintah, akumulasi pinjaman selama bertahun-tahun dan pemungutan pajak yang keliru.
Pemerintah berencana merundingkan dana talangan Dana Moneter Internasional IMF, tetapi pembicaraan belum dimulai.
IMF mengatakan hari Selasa mereka sedang memantau perkembangan politik dan ekonomi di Sri Lanka "sangat dekat".
Sumber : Kompas TV/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.