Kompas TV internasional kompas dunia

Wacana Presiden 3 Periode, Jokowi Ikuti Jejak Diktator Afrika?

Kompas.tv - 4 April 2022, 20:26 WIB
wacana-presiden-3-periode-jokowi-ikuti-jejak-diktator-afrika
Ilustrasi. Presiden Jokowi dalam Pembukaan Silaturahmi Nasional APDESI Tahun 2022, Selasa (29/3/2022). Belakangan ini, mencuat wacana memperpanjang masa jabatan Jokowi menjadi tiga periode. (Sumber: Tangkapan Layar Youtube Setpres/Ninuk)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Fadhilah

KOMPAS.TV - Gaung wacana masa jabatan presiden tiga periode semakin mengemuka belakangan ini.

Pada akhir Maret lalu, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyerukan perpanjangan masa jabatan presiden demi memilih Jokowi kembali.

Isu perpanjangan masa jabatan presiden pun menuai kontroversi.

Kepada Kompas.com, Direktur Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC) Idil Akbar menyebut, wacana presiden tiga periode hanya “membuat gaduh” dan “berbahaya untuk demokrasi”.

Lalu, bagaimana dengan isu masa jabatan presiden melebihi tiga tahun di panggung internasional?

Kebanyakan negara demokratis membatasi masa jabatan presiden sampai dua periode, dengan batasan waktu per periode empat hingga tujuh tahun.

Akan tetapi, terdapat segelintir negara dengan status demokratis meragukan yang melebihi batasan dua periode.

Status demokratis meragukan yang dimaksud adalah negara itu memilih pemimpin melalui pemilu, tetapi memiliki skor demokrasi buruk dan kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Bahkan, segelintir negara yang memutuskan tidak membatasi masa jabatan presiden cenderung terjerumus pada kediktatoran. 

Berkaca dari Benua Afrika

Per 2022, setidaknya masih ada sejumlah negara yang tidak membatasi masa jabatan presiden.

Beberapa negara di Afrika dipimpin oleh presiden dengan masa jabatan tanpa batas, menandai fenomena politik menggelishakan di benua itu.

Baca Juga: PKS: Semoga Tidak Ada Anggaran Negara yang Digunakan untuk Isu Jokowi 3 Periode

Menurut Adem K. Abebe, pakar pemerintahan dari Universitas Pretoria Afrika Selatan, dalam tulisannya untuk The Conversation, sejarah politik Afrika dihantui era presiden seumur hidup yang muncul sejak negara-negara Afrika merdeka hingga 1990-an.

Upaya transisi ke iklim politik yang lebih demokratis memang terjadi, tetapi sebagian diktator enggan menyerahkan kekuasaannya.

Menurut Abebe, fenomena presiden seumur hidup pun menerakan efek destruktif bagi stabilitas negara, demokrasi, serta pertumbuhan sosial-ekonomi di Benua Afrika.

Dibandingkan seluruh dunia, Afrika memiliki banyak presiden yang berkuasa melampaui masa jabatan normal.

Tujuh dari 10 presiden dengan masa jabatan terlama di dunia ada di Afrika.

Beberapa dengan masa jabatan terpanjang adalah Presiden Kamerun Paul Biya yang berkuasa sejak 1982.

Kemudian Presiden Guinea Khatulistiwa Teodoro Obiang Nguema Mbasogo yang berkuasa sejak 1979 dan Presiden Uganda Yoweri Tibuhaburwa Kaguta Museveni yang berkuasa sejak 1986.

Data Africa Center for Strategic Studies menunjukkan bahwa per 2018, terdapat 18 negara yang tidak tegas menetapkan batasan masa jabatan pemimpin negara.

Kondisi politik yang ditimbulkan pun tak menggembirakan: sepertiga dari 18 negara itu digerogoti konflik bersenjata.

Baca Juga: SMRC: Jokowi 3 Periode Hanya Didukung 5 Persen Responden

Uni Afrika sendiri sempat mengupayakan kebijakan untuk menetapkan batasan masa jabatan dua periode ke seluruh benua.

Namun, upaya ini gagal berkat penentangan dari kelompok negara yang dipimpin Uganda.

Abebe berpendapat, tanpa upaya yang dipimpin lembaga persatuan Afrika tersebut, Benua Hitam kemungkinan tak akan sepenuhnya lepas dari momok presiden seumur hidup menuju era demokrasi bebas.

Modus perpanjang masa jabatan dengan amandemen konstitusi

Masa jabatan Presiden Jokowi dibatasi oleh konstitusi Indonesia. Tepatnya Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden selama lima tahun dan maksimal dua periode sesuai amandemen pada 1999, setelah Reformasi.

Akan tetapi, batasan itu tak sepenuhnya menutup kemungkinan presiden menjabat melebihi periode yang seharusnya.

Pada 1963 lalu, melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963, Presiden Sukarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup.

Selanjutnya, amandemen terjadi pada masa Suharto yang memungkinkannya berkuasa selama 32 tahun.

Wacana amandemen UUD 1945 untuk mengakomodasi perpanjangan masa jabatan Jokowi sendiri mencuat setidaknya sejak tahun lalu.

Pada Agustus 2021 lalu, Komunitas Jokowi-Prabowo 2024 mendesak supaya amandemen konstitusi dilakukan.

"Memang UUD 45 sudah mengatur pada Pasal 37 bahwa UUD 45 bisa diubah sejauh syarat-syaratnya dipenuhi, diusulkan sepertiga anggota MPR, kemudian dihadiri 2/3 anggota MPR dan juga disetujui 50 persen plus 1 kalau nggak salah nanti bisa dicek konstitusinya tapi intinya sejauh syarat-syarat itu terpenuhi, maka kemudian amandemen bisa dilakukan," kata kata penasihat komunitas Jokowi-Prabowo 2024, M. Qodari dikutip Kontan pada 13 Agustus 2021 silam.

Amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden bukanlah hal asing di negara lain, terutama di negara dengan iklim demokrasi meragukan. 

Diktator Belarusia, Aleksandr Lukashenko memperpanjang masa jabatan melalui amandemen konstitusi pada 2004.

Kendati Belarusia kembali mengamendemen konstitusi yang menetapkan batas masa jabatan presiden dua periode pada 2022, analis menyebut konstitusi baru ini justru mengonsentrasikan kekuatan lebih besar di tangan Lukashenko usai menghadapi demonstrasi besar-besaran pada 2020-2021.

Di Afrika, amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden juga cukup umum ditemui.

Krisis politik Sudan sejak 2021 lalu berawal dari ambisi diktator Omar Al-Bashir yang ingin memperpanjang masa jabatannya.

Baca Juga: Abdalla Hamdok, PM Sudan Lulusan Manchester, Mundur Karena Tak Tahan Kemelut Politik

Pada 2019, Al-Bashir, presiden yang berkuasa berkat kudeta pada 1989, ingin memperpanjang masa jabatannya dan memerintahkan komite parlemen untuk membahas amandemen konstitusi.

Niat Al-Bashir ini tak disambut baik oleh berbagai elemen masyarakat.

Wacana amandemen konstitusi Al-Bashir memicu demonstrasi besar-besaran.

Demonstrasi yang berlangsung selama beberapa pekan ini ditindaklanjuti militer yang melakukan kudeta.

Hasilnya, pemerintahan transisi dibentuk untuk mengarahkan Sudan menjadi negara demokratis.

Namun, proses transisi sempat dicederai kudeta militer yang dilakukan Jenderal Abdul Fatah Al-Burhan pada 2021.

Sementara itu, di Chad, upaya perpanjangan masa jabatan presiden juga berbuah pahit.

Pada 2005, Presiden Idriss Deby secara sepihak memodifikasi konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya yang telah berlangsung sejak 1990.

Keputusan Deby itu memicu kemarahan dari berbagai elemen masyarakat dan oposisi.

Selama 21 tahun kekuasaan, kepemimpinan Deby diterpa upaya kudeta, kekerasan etnis, dan perang saudara.

Kekuasaan Deby baru berakhir saat ia terbunuh dalam operasi militer melawan kelompok pemberontak Front for Change and Concord in Chad (FACT).

Setelah kematian Deby, pemerintahan Chad dibubarkan dan konstitusi dibekukan.

Chad saat ini dipimpin oleh pemerintahan transisi militer yang dipimpin oleh Mayjen Mahamat Deby Itno, putra kedua Idriss Deby.

Menurut Abebe, krisis politik yang marak di Afrika terkait dengan fenomena presiden seumur hidup.

Rezim-rezim presiden dengan kekuasaan nyaris absolut sering kali diwarnai instabilitas, absennya kebebasan sipil dan politik, serta korupsi dan patrimonialisme.

Baca Juga: Amien Rais Sebut Rezim Jokowi Harus Berakhir di 2024, Istana: Semoga Beliau Istikamah Oposisi
 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x