KINSHASA, KOMPAS.TV - Usia mereka menembus 70 tahun, terkadang bahkan 100 tahun. Banyak pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara ASN di Republik Demokratik Kongo bekerja hingga tutup usia, berharap pensiun dan pengakuan yang tak kunjung datang, seperti laporan Straits Times, Jumat, (25/3/2022).
"Saya ingin negara menutup karier saya dengan terhormat," kata Bayard Kumwimba Dyuba, 84 tahun, seorang guru sekolah dasar di Lubumbashi, kota utama di tenggara Republik Demokratik Kongo yang luas itu.
Dyuba adalah seorang kakek periang dengan pikiran yang tajam, sedikit terganggu oleh punggung yang makin bungkuk dan "sulit mendengar".
"Saya mulai mengajar tahun 1968, tanggal 9 September. Ini adalah pekerjaan yang saya pilih. Saya tidak mau menyerah," katanya setelah pertanyaan itu diulang. "Tapi aku sekarang berada di ujung kekuatanku."
Dia mengajar di kelas yang terdiri dari 35 murid berusia 11 atau 12 tahun.
"Saya ingin pergi, tapi tidak seperti itu, tanpa apa-apa. Saya ingin mendapat apa yang pantas saya dapatkan," kata Dyuba.
Dia memperkirakan bahwa 30.000 dollar AS akan menjadi "penghitungan akhir" yang adil untuk pensiun dirinya, diikuti dengan uang pensiun bulanan.
Baca Juga: Kecelakaan Kereta di Kongo: Gerbong Jatuh ke Ngarai, 75 Orang Meninggal Dunia
Tetapi selama bertahun-tahun, banyak guru dan pekerja administrasi dilupakan, meskipun undang-undang tahun 2016 menetapkan mereka yang mencapai usia 65 tahun atau telah berkarir selama 35 tahun berhak untuk pensiun.
"Kami diabaikan, hampir ditinggalkan," kata Dyuba, menambahkan bahwa dia mendapatkan gaji bulanan 370.000 franc Kongo atau sekitar 200 dollar AS setiap bulan.
Di sekolah dasar lain yang dekat dengannya, kepala sekolahnya berusia 78 tahun.
Francoise Yumba Mitwele mulai bekerja sebagai ASN tahun 1962. "Itu adalah panggilan saya, saya suka mengajar," katanya, tegak dan rapi dalam balutan pakaian Afrika yang cantik berwarna-warni.
Seperti Pak Dyuba, Mitwele lelah tetapi harus terus bekerja, karena dia juga menunggu "uang pensiun". Dia menilai pembayaran uang pensiun ini sebesar 25.000 dollar AS, yang cukup untuk membeli rumah bagi anak-anaknya.
September lalu, Menteri Pelayanan Publik Jean-Pierre Lihau memperkirakan jumlah ASN yang berhak pensiun mencapai 350.000 orang
Lihau mengatakan, "14.000 orang berusia di atas 90 tahun, 256 berusia seratus tahun dan yang tertua berusia 110 tahun".
Menteri mengatakan dia ingin bekerja untuk "pensiun secara bertahap mereka yang akan pensiun bermartabat dibandingkan dengan masa lalu".
Baca Juga: Kasus Baru Ketiga Ebola Terjadi di Republik Demokratik Kongo
"Sudah terdengar sebelumnya, setiap menteri mengatakan hal yang sama dan kemudian tidak ada yang terjadi," kata pengacara Hubert Tshiswaka, direktur Lembaga Penelitian Hak Asasi Manusia di Lubumbashi, yang membela kasus mantan pegawai layanan publik yang memenuhi syarat untuk pensiun.
"Pensiun tidak datang dan ayah tua dan ibu tua meninggal dalam kesengsaraan," kata Tshiswaka, mengkritik "penggelapan" uang publik dan "kekebalan hukum" yang menyertainya.
Mitwele juga skeptis karena, sejak pernyataan menteri pemerintah, tidak ada yang berubah.
"Saya ingin pergi dengan kepala tegak," kata sang kepala sekolah, yang juga meminta agar karyanya selama bertahun-tahun diakui.
"Kami bahkan tidak memiliki medali penghargaan, yang bisa kami tinggalkan untuk cucu-cucu kami," katanya, dengan raut kesedihan yang meluap bercampur kemarahan.
Di ujung negeri, di ibu kota Kinshasa, "Petit Pierre" berpegangan pada pegangan tangga saat dia menaiki tangga reyot ke kantornya, di lantai pertama sebuah rumah biru di distrik Singa Mopepe di mana dia bekerja sebagai kepala kantor tersebut.
Pada usia 80, Yantula Bobina Pierre Elengesa, nama aslinya, senang bekerja "untuk layanan besar bagi negara".
Sebagai kepala distrik di komune Lingwala, ia menerima penduduk, menyelesaikan keluhan lingkungan atau perumahan mereka, dan melakukan sensus.
Baca Juga: Mengenal Kaum Sapeur di Kongo, Banting Tulang demi Cita-Cita, Necis, dan Parlente sampai Akhir
Pada tahun 1960, ia adalah pemain perkusi di orkestra rumba Jazz Afrika Joseph Kabasele, alias Le Grand Kalle, penulis judul kultus "Independence Cha Cha".
Elengesa menyerah bermusik setelah kecelakaan mobil yang serius tahun 1963 ketika kakinya diamputasi. "Saya punya prostesis, saya sudah terbiasa," katanya.
Setiap hari kecuali hari Minggu, dia bangun jam 3 pagi untuk menghindari kemacetan lalu lintas dalam perjalanan ke kantornya.
Ketika ditanya apakah pekerjaannya melelahkan, dia tidak menyebutkan usianya tetapi menyesal tidak memiliki komputer.
"Dunia telah berevolusi tetapi bukan administrasinya," kata Elengesa, duduk di depan rak yang dipenuhi lemari arsip dan di atasnya dengan megafon, yang ia gunakan untuk "meningkatkan kesadaran" di distriknya.
Tetap saja, "Anda lihat bahwa di usia saya, sudah waktunya untuk istirahat ... Tapi pensiun tidak juga datang," kata Elengesa. "Kami di sini, menunggu."
Kementerian layanan publik belum merinci langkah-langkah apa yang telah diambil untuk memungkinkan kepergian ASN lansianya namun tidak menanggapi permintaan informasi.
Sumber : Kompas TV/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.