YERUSALEM, KOMPAS.TV — Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, atau Special Rapporteur dalam kesimpulan penyelidikan resminya menuduh Israel melakukan kejahatan apartheid di wilayah-wilayah pendudukan Palestina.
New York Times melaporkan pada Kamis (24/3/2022), kesimpulan investigasi PBB itu serupa dengan kelompok pemantau hak asasi, baik dari internasional, dari Israel maupun dari Palestina. Kelompok-kelompok ini sedang berusaha menyusun kembali konflik Israel-Palestina sebagai perjuangan untuk persamaan hak, selain konflik dan sengketa teritorial.
Kesimpulan PBB tersebut dibantah keras Israel dan para pendukungnya yang menuduh penyelidik PBB bias. Kesimpulan investigasi PBB tersebut adalah pertama kalinya penyelidik yang ditunjuk PBB menuduh Israel dengan cara yang begitu tegas telah melakukan kebijakan apartheid .
Sang Special Rapporteur, Michael Lynk, adalah seorang profesor hukum Kanada yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menyelidiki pelanggaran hak di wilayah Palestina yang diduduki Israel. Ia tidak secara langsung membandingkan situasi di Palestina dengan situasi di Afrika Selatan era apartheid di mana minoritas kulit putih memerintah atas mayoritas penduduk kulit hitam.
Namun menurut Michael Lynk, apa yang dirinya simpulkan dari investigasi tersebut memenuhi definisi hukum tentang apartheid yang ditetapkan oleh hukum internasional.
Apartheid sendiri definisinya mengacu pada penerapan dan pemeliharaan sistem yang disahkan melalui undang-undang, menerapkan pemisahan manusia berdasarkan ras, atau segregasi rasial, di mana satu kelompok ras dirampas hak-hak politik dan sipil, termasuk hak atas kesejahteraan.
Apartheid adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat dihukum berdasarkan Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional.
Baca Juga: Amnesty International: Israel Terapkan Apartheid terhadap Bangsa Palestina, PBB Harus Beri Sanksi
Special Rapporteur ditunjuk oleh PBB dengan mandat untuk bekerja secara sukarela pada topik tertentu (misalnya penyiksaan, kebebasan berekspresi, penindasan, atau hak atas air) atau di wilayah geografis (misalnya Irak, Suriah, Palestina, atau Myanmar).
Sistem hukum dua tingkat yang ditegakkan oleh Israel di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, menurut kesimpulan penyelidikan tersebut, mengabadikan sistem dominasi Israel atas Palestina. Fakta itu tidak bisa lagi dijelaskan sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan dari pendudukan yang bersifat sementara.
“Di wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak 1967, sekarang ada lima juta warga Palestina tanpa kewarganegaraan, yang hidup tanpa hak apapun, dalam keadaan penaklukan yang akut, dan tanpa jalan menuju penentuan nasib sendiri atau negara merdeka yang layak, yang telah berulang kali dijanjikan masyarakat internasional sebagai hak mereka,” tulisnya dalam salinan awal laporannya.
“Perbedaan kondisi kehidupan, hak serta kesejahteraan sebagai warga negara sangat mencolok, sangat diskriminatif dan dilakukan berkesinambungan melalui penindasan yang sistematis dan terlembagakan,” kata laporan tersebut.
Pemerintah Israel mengatakan klaim Michael Lynk tidak berdasar, tanpa konteks dan iterasi atau pengulangan terbaru dari kampanye kotor yang bertujuan merusak hak Israel untuk eksis.
Israel dan para pendukungnya lama berargumen, Michael Lynk bias terhadap Israel. Namun, tuduhan itu dibantah Michael Lynk.
Pemerintah Israel mengatakan tidak adil untuk menyalahkan Israel, mengingat ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok bersenjata Palestina di wilayah pendudukan.
Baca Juga: Berlanjutnya Pembangunan Pemukiman Israel di Tanah Palestina Ancam Solusi Dua Negara
“Tidak ada laporan tentang konflik Israel-Palestina yang dapat dianggap serius jika tantangan keamanan dan ancaman yang dihadapi setiap hari oleh semua orang Israel, termasuk 20 persen minoritas non-Yahudi, tidak dipertimbangkan; jika organisasi teroris Hamas yang menguasai Gaza dengan tangan besi tidak disebutkan atau dikutuk; jika peran dan kewajiban hukum Otoritas Palestina terhadap penduduknya sendiri tidak diperhatikan; dan jika kompleksitas situasi yang ekstrem tidak dipahami,” kata Kementerian Luar Negeri Israel dalam sebuah pernyataan.
Pendukung Israel lainnya mengkritik laporan Michael Lynk karena mengecilkan beberapa upaya sebelumnya oleh Israel untuk menarik diri dari Tepi Barat melalui penyelesaian yang dinegosiasikan, dimana kegagalan perundingan mereka kaitkan dengan Palestina.
Israel merebut Tepi Barat dari Yordania pada tahun 1967, dan negosiasi terbaru untuk mengakhiri pendudukan mandek tahun 2014.
Beberapa kelompok Israel dan asing menerbitkan laporan serupa baru-baru ini, termasuk kelompok hak asasi internasional Amnesty International dan Human Rights Watch, serta B'Tselem, kelompok hak asasi manusia Israel terkemuka.
Banyak warga Palestina menyambut baik wacana dan fokus internasional pada hak-hak di wilayah pendudukan.
Sebagian menilai berbagai kelompok hak asasi manusia tersebut tidak cukup menyeluruh dalam mengkaji Israel, menganggap sebagian besar kelompok tersebut membatasi analisis mereka hanya di Tepi Barat, atau menolak untuk menempatkan diskusi apartheid dalam wacana yang lebih luas tentang kolonialisme.
Laporan Amnesty pada bulan Februari adalah cuplikan, menuduh Israel mempraktikkan apartheid di dalam perbatasannya.
Sumber : New York Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.