Seorang remaja lewat menyurung kursi kantor yang memuat alat elektronik dan kardus-kardus yang berjatuhan di sisinya. “Teman-temanku di dalam dan artileri meledak 10 meter dari kami,” katanya. “Aku tak tahu apa yang terjadi kepada mereka.”
Kami mengebut kembali ke rumah sakit. Selang 20 menit, korban luka berdatangan, sebagian mereka diangkut dengan kereta belanja.
Selama beberapa hari, satu-satunya koneksi kami dengan dunia luar hanyalah melalui telepon satelit. Dan satu-satunya titik tempat telepon itu bekerja adalah di luar, tepat di samping sebuah kawah artileri. Saya akan duduk di situ, mencoba mengecilkan tubuh saya dan menyambungkan jaringan telepon.
Semua orang bertanya, mohon beritahu kami kapan perang akan berakhir. Saya tak tahu jawabannya.
Setiap hari, ada rumor bahwa tentara Ukraina akan datang memecahkan kepungan. Tetapi tidak ada yang datang.
Hingga kini, saya telah menyaksikan kematian-kematian di rumah sakit, mayat-mayat di jalanan, puluhan jenazah disekop ke kuburan massal. Saya telah melihat banyak sekali kematian hingga saya merekam hampir tanpa terbawa suasana.
Pada 9 Maret, efek serangan udara ganda mencabik plastik yang ditempelkan ke jendela mobil van kami. Saya melihat bola api sekejap sebelum rasa sakit menusuk gendang telinga saya, kulit saya, wajah saya.
Kami melihat asap mengepul dari rumah sakit bersalin. Setibanya kami, petugas tanggap bencana masih mengeluarkan para ibu hamil yang berdarah dari reruntuhan.
Baterai kamera hampir habis, dan kami tidak punya koneksi untuk mengirim rekaman. Jam malam tinggal beberapa menit menjelang. Seorang polisi tak sengaja mendengar kami bicara bagaimana caranya mengabarkan pengeboman rumah sakit itu.
“Ini akan mengubah jalannya perang,” katanya. Dia membawa kami ke sebuah sumber listrik dan koneksi internet.
Kami telah merekam begitu banyak orang mati dan anak-anak yang mati, sebuah garis tak berujung. Saya tak mengerti kenapa dia berpikir lebih banyak kematian akan mengubah apa pun.
Ternyata, saya keliru.
Dalam kegelapan, kami mengirim rekaman dengan membariskan tiga ponsel dengan berkas video dipecah menjadi tiga bagian untuk mempercepat pengunggahan. Itu memakan waktu berjam-jam, jauh melewati jam malam. Serangan artileri berlanjut, tetapi polisi yang ditugaskan mengawal kami menunggu dengan sabar.
Baca Juga: Zelensky Murka Rusia Serang Rumah Sakit Bersalin: Ini Kejahatan Perang, Apa Kalian Manusia?
Setelah itu, hubungan kami dengan dunia di luar Mariupol sekali lagi terputus.
Kami kembali ke ruang bawah tanah sebuah hotel kosong dengan akuarium yang kini terisi bangkai ikan mas. Dalam isolasi, kami tak tahu mengenai kampanye disinformasi Rusia yang mencoba mendiskreditkan hasil kerja kami.
Kedutaan Rusia di London merilis dua twit yang menyebut foto-foto AP palsu dan mengeklaim seorang ibu hamil adalah aktris yang berakting. Utusan Rusia membawa salinan foto kami ke rapat Dewan Keamanan PBB dan mengulangi kebohongan tentang serangan ke rumah sakit bersalin.
Pada saat bersamaan, di Mariupol, kami kewalahan dengan orang-orang yang menanyai kabar terbaru dari perang. Banyak sekali orang mendatangi saya dan berkata, tolong rekam saya jadi keluarga saya di luar kota tahu saya masih hidup.
Pada saat ini, tidak ada sinyal TV atau radio Ukraina yang bekerja di Mariupol. Satu-satunya frekuensi radio yang dapat kau tangkap hanya menyiarkan kebohongan Rusia—bahwa Ukraina menahan warga Mariupol sebagai sandera, menembaki gedung-gedung, mengembangkan senjata kimia.
Propagandanya begitu kuat hingga sebagian orang yang bicara dengan kami memercayainya, meskipun mereka melihat bukti nyata dengan mata kepala mereka sendiri.
Baca Juga: China Tak Yakin Kutuk Rusia Akan Hentikan Serangan ke Ukraina, tapi Tetap Dukung Gencatan Senjata
Pesan (propaganda) itu terus diulangi, dengan gaya Soviet: Mariupol dikepung. Serahkan senjatamu.
Pada 11 Maret, dalam telepon singkat tanpa detail, editor meminta kami menemukan perempuan yang selamat dari pengeboman rumah sakit bersalin untuk membuktikan eksistensi mereka. Saya menyadari rekaman itu pasti cukup kuat hingga menimbulkan respons dari pemerintah Rusia.
Kami menemukan para ibu hamil di sebuah rumah sakit di garis depan pertempuran, sebagian dengan bayi dan sebagian lain hendak bersalin. Kami juga lantas mengetahui bahwa seorang perempuan kehilangan bayinya, lalu nyawanya sendiri.
Baca Juga: Ibu Hamil Korban Bom Rusia di RS Mariupol Ukraina Meninggal Dunia, Bayi Lahir Tanpa Nyawa
Kami naik ke lantai tujuh untuk mengirimkan video lewat jaringan internet yang lemah. Dari sana, saya melihat tank demi tank berbaris menuju rumah sakit, masing-masing dimarkahi huruf Z yang menjadi emblem perang Rusia.
Kami terkepung: puluhan dokter, ratusan pasien, dan kami berdua.
Pasukan Ukraina yang menjaga rumah sakit telah menghilang. Dan jalur ke mobil van kami, dengan makanan, air, dan perlengkapan kami, dijaga penembak jitu Rusia yang telah menembak seorang tenaga medis yang berkeliaran di luar.
Jam demi jam berlalu dalam kegelapan, kami mendengar ledakan demi ledakan di luar. Itulah saat tentara mendatangi kami, berteriak dalam bahasa Ukraina.
Itu tidak terasa seperti misi penyelamatan. Itu rasanya seperti kami dipindahkan dari satu bahaya ke bahaya lain. Pada saat ini, tak ada tempat di Mariupol yang aman, dan tidak ada pertolongan. Kamu bisa mati setiap waktu.
Saya merasa sangat bersyukur dijemput tentara, tetapi juga merasa kaku. Dan kepergian ini membuat saya merasa malu.
Kami berdesakan di sebuah mobil Hyundai dengan keluarga beranggotakan tiga orang dan memasuki kemacetan sepanjang lima kilometer untuk keluar dari kota ini. Sekitar 30.000 orang berhasil keluar Mariupol pada hari itu—sangat banyak hingga pasukan Rusia tak punya waktu memperhatikan isi dalam mobil yang jendelanya ditutupi sedikit plastik.
Orang-orang gugup. Ada perkelahian, saling meneriaki satu sama lain. Setiap menit ada pesawat atau serangan udara. Bumi berguncang.
Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina: Kisah Evakuasi Sembilan WNI yang Terjebak di Chernihiv
Kami melewati 15 pos pemeriksaan Rusia. Di setiap pos, ibu yang duduk di depan kami akan berdoa dengan kencang, cukup keras untuk kami dengar.
Saat kami berkendara melalui mereka—pos jaga ketiga, kesepuluh, ke-15, semua dijaga tentara dengan persenjataan berat—harapan saya bahwa Mariupol akan selamat mulai memudar. Saya paham bahwa untuk sekadar mencapai kota itu, tentara Ukraina mesti menembus banyak sekali basis musuh. Dan itu tidak akan terjadi.
Ketika senja, kami tiba di sebuah jembatan yang dihancurkan pasukan Ukraina untuk menghentikan pergerakan Rusia. Satu konvoi Palang Merah yang terdiri dari sekitar 20 mobil sudah terjebak di sana. Kami semua keluar jalan raya melintasi tanah lapang dan jalan sempit.
Penjaga di pos pemeriksaan ke-15 bicara bahasa Rusia dengan aksen berat Kaukasus. Mereka menyuruh seluruh konvoi mematikan lampu depan untuk menyembunyikan senjata dan perlengkapan yang ditaruh di sisi jalan. Saya hampir tidak bisa melihat markah Z putih di kendaraan Rusia.
Ketika kami sampai ke pos pemeriksaan ke-16, kami mendengar suara. Suara orang Ukraina. Saya merasa luar biasa lega. Sang ibu di depan mobil menangis sejadinya. Kami keluar.
Kami adalah jurnalis terakhir di Mariupol. Sekarang tak ada lagi di sana.
Kami masih dibanjiri pesan dari mereka yang ingin tahu nasib orang-orang terkasih yang kami foto atau rekam. Mereka menulis pesan yang putus asa sekaligus intim untuk kami, bagaikan kami bukan orang asing, bagaikan kami mampu membantu mereka.
Ketika serangan udara Rusia menghancurkan gedung teater tempat ratusan orang berlindung pekan lalu, saya dapat menunjuk dengan tepat ke mana kami mesti pergi untuk mengetahui nasib penyintas, untuk mendengar langsung bagaimana rasanya terjebak selama berjam-jam di bawah setumpuk reruntuhan.
Saya tahu gedung itu dan rumah-rumah yang hancur di sekitarnya. Saya tahu orang-orang yang terjebak di bawahnya.
Dan pada Minggu (20/3/2022), otoritas Ukraina menyebut Rusia mengebom sebuah sekolah seni tempat sekitar 400 orang berlindung di Mariupol.
Akan tetapi, kami tak lagi bisa berangkat ke sana.
Baca Juga: Diplomat Yunani Sempat Terjebak di Mariupol Ukraina, Ungkap Kengerian karena Serangan Rusia
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.