MARIUPOL, KOMPAS.TV - Rusia meminta pasukan Ukraina di Mariupol menyerah, setelah kota itu menjadi sasaran pengeboman sejak penyerangan pada 24 Februari.
Selain itu, nyaris 4.000 warga sipil telah dievakuasi dari sana pada Minggu (20/3/2022).
Mariupol kini memiliki kondisi mengenaskan, dan sebanyak 400.000 penduduknya tetap terperangkap di sana.
Mereka pun hanya memiliki sedikit makanan, air dan listrik.
Baca Juga: Diplomat Yunani Sempat Terjebak di Mariupol Ukraina, Ungkap Kengerian karena Serangan Rusia
Menurut Gubernur Donetsk Oblast, Pavlo Kyrylenko, pertempuran berlanjut di dalam kota pada Minggu, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Dikutip dari CBC, Rusia meminta pasukan Ukraina di Mariupol untuk segera meletakkan senjata.
Mereka menegaskan bencana kemanusiaan yang mengerikan sedang berlangsung.
Rusia menegaskan pasukan Ukraina yang menyerah akan dijamin perjalanan yang aman ke kota, dan koridor kemanusiaan akan dibuka dari Mariupol, Senin (21/3/2022), pukul 10 pagi.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Ukraina, Iryna Vereshchuk mengatakan 7.295 orang telah dievakuasi dari sejumlah kota di Ukraina pada Minggu.
Sebanyak 3.985 diantaranya berasal dari Mariupol.
Vereshchuk menegaskan Pemerintah Ukraina berencana mengirimkan 50 bus dari Mariupol untuk evakuasi lebih lanjut.
Rusia dan Ukraina telah membuat kesepakatan sepanjang perang di koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil.
Tetapi mereka saling menuduh dengan seringnya pelanggaran dari kesapakatan itu.
Jika berhasil menguasai Mariupol, akan membantu pasukan Rusia untuk mengamankan jalan koridor ke semenanjung Krimea, yang dianeksasi Rusia dari Ukraina pada 2014.
Baca Juga: Pidato ke Parlemen Israel, Presiden Ukraina Singgung Holocaust Perang Dunia II dan Minta Senjata
Dewan Kota Mariupol sendiri pada Sabtu (19/3/2022), menegaskan ribuan warga Mariupol telah dipindah paksa ke Rusia pada beberapa pekan terakhir.
Pihak Rusia sendiri menegaskan bus-bus yang berisi ratusan orang itu merupakan pengungsi Mariupol yang ditempatkan di Rusia.
Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield menegaskan pemindahan paksa itu sangat mengganggu dan tidak masuk akal jika benar terjadi.
Tetapi, ia mengatakan Washington belum mengonfirmasi keadaan tersebut.
Sumber : CBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.