BRUSSEL, KOMPAS.TV - Setelah Perang Dingin berakhir, yang ditandai dengan runtuhnya negara Tirai Besi alias Uni Soviet (kini Rusia) hingga terpecah menjadi beberapa negara, NATO dan Rusia menandatangani NATO-Russia Founding Act, sebuah kesepakatan yang menjadi peta jalan bakal kerja sama NATO dan Rusia.
Kedua pihak sepakat bekerja sama demi “perdamian abadi” setelah ketegangan-ketegangan pada era Perang Dingin. NATO dan Rusia bahkan membuat dewan bersama sebagai wadah konsultasi dan pengambilan konsensus.
NATO dan Rusia sepakat membatasi penerjunan pasukan di Eropa, meningkatkan kontrol senjata, serta tranparansi tentang aktivitas militer masing-masing.
“NATO dan Rusia tidak menganggap masing-masing sebagai musuh. Mereka punya tujuan sama, yakni mengatasi jejak-jejak persaingan dan konfrontasi sebelumnya (Perang Dingin) dan memperkuat rasa saling percaya dan kerja sama,” demikian bunyi pembukaan NATO-Russia Founding Act yang ditandantangani pada 27 Mei 1997.
Pernyataan optimistis itu ditulis ketika hubungan negara-negara Barat dengan Rusia sedang mencair. Kini, setelah ratusan warga Ukraina tewas dan jutaan mengungsi akibat bombardir Rusia, dokumen tersebut seakan tak berarti lagi.
Baca Juga: Sadar Ukraina Tak Bisa Jadi Anggota NATO, Zelensky Legawa: Kami Harus Mengakuinya
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dan pemimpin-pemimpin Barat kini secara terbuka memusuhi Moskow.
Pada Rabu (16/3/2022), dalam pertemuan dengan jajaran menteri pertahanan NATO, Stoltenberg menyesali “invasi brutal” Rusia ke Ukraina. Ia pun menegaskan perang di Ukraina akan “mengubah lingkungan keamanan” dan “menghasilkan konsekuensi panjang bagi keamanan kita dan seluruh sekutu NATO.”
Pembicaraan di markas NATO di Brussel, Belgia, itu menghasilkan usulan dari jajaran menteri. Para menteri mengusulkan NATO memperkuat pertahanan di kawasan timur, yakni di Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, Bulgaria, Rumania, dan Laut Hitam.
Tujuannya adalah mencegah Vladimir Putin memerintahkan invasi ke 30 sekutu NATO dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan.
Sebelum invasi ke Ukraina, Putin telah meminta NATO menarik pasukan dari Eropa Timur. Namun, NATO tak memenuhinya, justru menambah pasukan hingga dimulainya invasi pada 24 Februari.
Kini, karena Rusia nekat melancarkan invasi, NATO mengabaikan tuntutan kadaluwarsa Kremlin dan menerjunkan lebih banyak pasukan.
NATO sebelumnya menerjunkan sekitar 5.000 pasukan di negara-negara Baltik dan Polandia melalui skema gugus tempur yang dirotasi. NATO pun diduga akan menerapkan skema pertahanan baru, yakni mengirim lebih banyak pasukan ke timur dan dengan penempatan yang lebih permanen.
Usulan ini akan dibahas lebih lanjut dalam pertemuan tingkat tinggi NATO di Madrid, Spanyol pada Juni mendatang.
“Kami memperkuat pertahanan kolektif, ratusan ribu pasukan dalam kondisi siaga tinggi, 100.000 pasukan AS di Eropa, lalu 40.000 pasukan dalam komando langsung NATO, kebanyakan di wilayah timur aliansi, didukung oleh pasukan laut dan udara,” kata Stoltenberg.
Kebijakan NATO, meskipun masih akan dibahas lebih lanjut, mengindikasikan bahwa NATO-Russia Founding Act semakin irelevan dan hubungan NATO-Rusia telah berubah.
Para pemimpin NATO sendiri akan berkumpul di Belgia pekan depan untuk membahas lebih lanjut krisis Ukraina dan penguatan pertahanan aliansi.
Pada Februari lalu, para pemimpin NATO telah merilis pernyataan jelas mengenai hubungannya dengan Rusia akibat invasi ke Ukraina.
“Aksi Rusia adalah pelanggaran mencolok dari prinsip-prinsip yang diabadikan dalam NATO-Russia Founding Act: Rusia lah yang keluar dari komitmennya dalam kesepakatan itu,” tulis rilis para pemimpin NATO.
“Keputusan Presiden Putin untuk menyerang Ukraina adalah kesalahan strategis yang sangat buruk, yang mana akan ditebus Rusia dengan harga mahal, baik secara ekonomi atau politik, selama bertahun-tahun mendatang.”
Baca Juga: Disebutkan Dalam Konflik Rusia - Ukraina, Apa Itu NATO?
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.