Namun, yurisdiksi dan klaim kepemilikan Israel atas Yerusalem tidak diakui secara internasional, termasuk oleh Amerika Serikat.
Meskipun kemudian pada 2017, Presiden AS Donald Trump menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Status Yerusalem tetap menjadi salah satu kendala utama dalam upaya penyelesaian masalah Palestina-Israel hingga kini.
Baca Juga: Presiden Ukraina Zelensky Beri Peringatan ke NATO soal Serangan Rudal Rusia: Hanya Masalah Waktu
Di bawah Rencana Partisi PBB 1947 yang akan membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab, Yerusalem diberikan status istimewa dan akan berada di bawah kontrol dan kedaulatan internasional. Hal itu didasari atas posisi penting Yerusalem bagi tiga agama samawi.
Pada perang 1948, menyusul rekomendasi PBB untuk membagi Palestina menjadi dua, pasukan Zionis merebut kendali atas bagian barat Yerusalem dan menyatakan wilayah tersebut bagian dari negaranya.
Pada perang 1967, Israel merebut wilayah bagian timur Yerusalem yang saat itu berada di bawah kontrol Yordania. Israel kemudian mencaplok Yerusalem Timur dengan melanggar hukum internasional.
Pada 1980, Israel mengesahkan “Undang-Undang Yerusalem” yang menyatakan “Yerusalem, lengkap dan bersatu, adalah ibu kota Israel”.
Merespons langkah Israel tersebut, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 478 pada 20 Agustus 1980 yang menyatakan undang-undang tersebut tidak sah.
Pencaplokan Yerusalem Timur oleh Israel melanggar sejumlah prinsip hukum internasional yang menyatakan pihak yang menduduki suatu wilayah tidak memiliki kedaulatan atas wilayah yang didudukinya.
Masyarakat internasional secara resmi memandang Yerusalem Timur sebagai wilayah di bawah pendudukan.
Baca Juga: AS Ungkap Rusia Minta Bantuan Militer China untuk Serang Ukraina, Ini Pembelaan Tiongkok
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.