JAKARTA, KOMPAS.TV – Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu langsung disambut kecaman dan sanksi dari seluruh penjuru. Serangan militer yang dilancarkan pemerintahan Vladimir Putin itu pun disebut melanggar Piagam PBB.
Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyebut invasi Rusia ke Ukraina melanggar hukum internasional dan Piagam PBB.
“Rusia memilih untuk melanggar kedaulatan Ukraina, untuk melanggar hukum internasional, melanggar Piagam PBB,” kata Thomas-Greenfield dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB yang membahas tentang Ukraina pada 25 Februari 2022.
Sehari sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menyebut serangan ke Ukraina bukan soal ancaman keamanan terhadap Rusia.
“Ini selalu tentang agresi. Tentang keinginan Putin akan imperium – dengan cara apapun yang diperlukan,” kata Biden di Washington.
Sementara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta Putin menghentikan operasi militer dan menarik pasukan Rusia dari Ukraina.
“Ini salah. Ini melanggar Piagam (PBB). Ini tidak dapat diterima. Tapi ini bukan tidak dapat diubah,” kata Guterres pada 24 Februari 2022.
“Piagam (PBB) sudah jelas: ‘Seluruh anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.’”
Lantas, apakah invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003 silam tidak melanggar Piagam PBB?
Baca Juga: Kedutaan Ukraina Merekrut Warga Amerika yang Ingin Berperang
Pada 20 Maret 2003, Presiden AS George W. Bush mengumumkan dimulainya operasi militer pimpinan AS ke Irak. Washington menuding pemerintahan Irak di bawah Presiden Saddam Hussein, menyimpan senjata pemusnah massal.
Bush kemudian menggunakan alasan itu untuk mengobarkan perang di Irak. Padahal, inspeksi PBB tidak menemukan senjata yang dimaksud.
Pada 15 September 2004, Kofi Annan yang saat itu menjabat sebagai sekretaris jenderal PBB dalam wawancara dengan BBC mengatakan, invasi AS ke Irak pada 2003 adalah ilegal dan melanggar Piagam PBB.
“Saya salah satu dari mereka yang percaya bahwa seharusnya ada resolusi kedua dari Dewan Keamanan PBB untuk memberi lampu hijau bagi invasi pimpinan AS yang menggulingkan rezim Saddam Hussein,” ujar Annan seperti dikutip Al Jazeera.
“Saya telah mengindikasikan bahwa ini tidak sesuai dengan Piagam PBB dari sudut pandang kami, dan dari sudut pandang piagam tersebut, ini ilegal.”
Baca Juga: Twitter Hapus Postingan Kedutaan Besar Rusia yang Sebut Serangan ke Rumah Sakit Ukraina Palsu
Pada 8 November 2002, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1441 yang memberikan Irak “sebuah kesempatan terakhir untuk mematuhi kewajiban-kewajiban pelucutan senjata.” Resolusi tersebut tidak memberikan izin penggunaan kekuatan terhadap Irak.
Annan berpendapat seharusnya Dewan Keamanan PBB-lah yang mengambil tindakan sesuai dengan resolusi-resolusi PBB untuk menekan Saddam Hussein agar meninggalkan upayanya untuk membuat senjata pemusnah massal.
Dia menambahkan, keputusan AS untuk tetap menjalankan misi menginvasi Irak, bersama pasukan Inggris, “tidak sesuai dengan Dewan Keamanan, dan dengan Piagam PBB.”
Hans Blix, seorang diplomat Swedia, memimpin tim inspeksi PBB yang ditugaskan menemukan senjata pemusnah massal di Irak.
“Hari ini, saya melihat lagi alasan-alasan mengapa kesalahan mengerikan – dan pelanggaran terhadap Piagam PBB – ini terjadi,” kata Blix dalam sebuah artikel khusus untuk CNN pada 19 Maret 2013.
Baca Juga: Diminta Kecam Invasi Rusia ke Ukraina oleh Uni Eropa, PM Pakistan: Memang Kami Budak Kalian?
“Pemerintahan Bush tentu saja ingin berperang, dan menjadikan pemberantasan senjata pemusnah massal sebagai alasan utamanya,” ujar Blix.
Para penyelidik PBB, kata Blix, diperintahkan untuk mencari, melaporkan, dan menghancurkan senjata pemusnah massal yang diduga dimiliki Irak.
“Karena kami tidak menemukan adanya senjata dan tidak ada bukti yang mendukung kecurigaan itu, kami melaporkan ini.”
“Tapi Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld mengabaikan laporan-laporan kami dengan salah satu jawaban jenakanya: ‘Ketiadaan bukti bukanlah bukti dari ketiadaan,’” ungkap diplomat yang pernah menjabat sebagai direktur jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) itu.
Blix berpendapat logika Rumsfeld memang benar. Tapi hal itu, kata dia, tidak dapat dijadikan alasan oleh AS dan Inggris untuk menyesatkan diri mereka dan dunia.
“Seperti yang mereka telah lakukan, dengan mengakui bukti palsu atau berasumsi bahwa jika senjata-senjata itu ‘tidak ditemukan’ maka mereka pasti ada. Mereka (senjata-senjata pemusnah massal) tidak ada.”
Baca Juga: Macron: Syarat Rusia untuk Gencatan Senjata di Ukraina Tidak Bisa Diterima oleh Siapa pun
Blix melanjutkan, tim inspeksi yang dipimpinnya telah memeriksa ratusan lokasi, termasuk lusinan yang disarankan oleh organisasi-organisasi intelijen nasional berbagai negara.
“Dalam beberapa kasus, kami memang menemukan senjata konvensional – tapi bukan senjata pemusnah massal.”
“Pemerintah-pemerintah yang melancarkan perang mengklaim 100 persen yakin ada senjata itu, tapi mereka memiliki nol persen pengetahuan tentang di mana senjata-senjata itu,” tutur Blix.
Tiga hari sebelum invasi pimpinan AS dan Inggris ke Irak dimulai pada 19 Maret 2003, Blix mengaku diminta untuk meninggalkan Irak.
Pada 23 Januari 2004, David Kay yang memimpin tim bentukan Washington untuk mencari senjata pemusnah massal di Irak mengatakan, Irak tidak lagi memiliki persediaan senjata biologis dan kimia.
“Saya tidak berpikir mereka (senjata-senjata pemusnah massal Irak) ada,” kata Kay kepada Reuters seperti dilaporkan CNN.
“Yang semua orang bicarakan adalah tentang persediaan yang diproduksi setelah akhir Perang Teluk (1991), dan saya tidak berpikir ada program produksi berskala besar pada 90-an,” imbuhnya.
Baca Juga: Menlu Rusia Tepis Konflik Rusia-Ukraina Berujung Perang Nuklir
Posisi Kay lalu digantikan Charles Duelfer, mantan pejabat tim inspeksi PBB di Irak.
Pada 6 Oktober 2004, Iraq Survey Group (ISG) yang dipimpin Duelfer dan beranggotakan 1.200 penyelidik, merilis laporan setebal 1.500 halaman.
Setelah melakukan pencarian dan penyelidikan selama 15 bulan, ISG menyatakan Saddam Hussein telah menghancurkan senjata pemusnah massal terakhirnya pada 1991.
Namun, laporan tersebut menyebutkan, “Saddam ingin menciptakan kembali kapabilitas WMD (weapons of mass destruction atau senjata pemusnah massal) – yang pada dasarnya sudah dihancurkan pada 1991 – setelah sanksi dicabut dan perekonomian Irak stabil.”
Baca Juga: Perundingan Menlu Rusia dan Menlu Ukraina Tidak Menghasilkan Kesepakatan Signifikan
Di hari yang sama dengan dirilisnya laporan ISG tersebut, Bush di hadapan massa kampanye di Pennsylvania, membela keputusannya menginvasi Irak.
“Ada risiko, risiko yang sesungguhnya, bahwa Saddam Hussein akan memberikan senjata atau bahan atau informasi kepada jaringan teroris, dan di dunia pasca-11 September, itu adalah risiko yang tidak bisa kita kesampingkan,” ujarnya seperti dikutip CNN.
Tetapi Blix mengatakan, Al Qaidah, kelompok yang diyakini berada di balik serangan teroris 11 September 2001 di New York dan Washington, tidak ada di Irak sebelum invasi pimpinan AS dilancarkan.
“Perang ini ditujukan untuk mengenyahkan senjata pemusnah massal, tetapi tidak ada (senjata pemusnah massal). Perang ini ditujukan untuk mengenyahkan Al Qaidah di Irak, tapi kelompok teroris itu tidak ada di negara itu hingga setelah invasi (AS).”
Saddam Hussein ditangkap pasukan AS di dekat kota Tikrit pada 13 Desember 2003. Pada 5 November 2006, mantan diktator itu dijatuhi hukuman gantung oleh pengadilan. Pada 30 Desember 2006, Saddam dieksekusi.
Iraq Body Count memperkirakan, hingga 10 Maret 2022, sekitar 288.000 orang tewas dalam aksi kekerasan di Irak menyusul invasi pimpinan AS yang dimulai pada 2003. Dari jumlah tersebut, antara 186.143 dan 209.349 orang adalah warga sipil.
Sedangkan menurut laporan Costs of War, hingga 1 September 2021, sebanyak 275.000 hingga 306.000 orang tewas di Irak karena kekerasan akibat perang. Sekitar 185.831 hingga 208.964 adalah warga sipil.
Data Costs of War tidak memasukkan kematian akibat dampak tidak langsung dari perang seperti kelaparan, penyakit yang berhubungan dengan perang, dan sebagainya.
AS menginvasi Irak pada 2003 dan jumlah tentara Paman Sam di negara itu mencapai jumlah tertinggi pada 2007 yaitu sekitar 170.000 orang.
Pada 2011, AS menarik pasukannya dari Irak. Namun setelah kemunculan ISIL/ISIS, AS kembali menerjunkan pasukannya ke Irak pada 2014.
Pada Juli 2021, pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengumumkan akan mengakhiri misi perang pasukan koalisi pimpinan AS di Irak per 31 Desember 2021.
Meski demikian, seperti dilansir The New York Times, sebanyak 2.500 tentara AS tetap berada di Irak dengan tujuan membantu pasukan Irak.
Baca Juga: Trudeau: Kanada akan Menerima Sebanyak Mungkin Pengungsi Ukraina
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.