MARIUPOL, KOMPAS.TV — Mayat tergeletak di jalan-jalan di Kota Mariupol, Ukraina. Orang-orang yang lapar masuk ke toko-toko untuk mencari makanan dan mencairkan salju untuk mendapatkan air.
Ribuan orang berkerumun di ruang bawah tanah, gemetar mendengar suara peluru Rusia yang menghantam kota pelabuhan yang strategis ini.
"Mengapa saya tidak boleh menangis? Saya ingin rumah saya, saya ingin pekerjaan saya. Saya sangat sedih tentang orang-orang dan tentang kota, anak-anak," ujar Goma Janna, seorang perempuan warga Mariupol seperti dikutip dari The Associated Press.
Krisis kemanusiaan sedang berlangsung di kota berpenduduk 430.000 jiwa yang sedang dikepung Rusia itu.
Upaya evakuasi pada Selasa (8/3/2022) kemarin telah gagal. Warga juga tidak mendapatkan kiriman makanan, air, dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan melalui koridor aman.
Pejabat Ukraina mengatakan pasukan Rusia telah menembaki konvoi yang membawa bantuan, sebelum mencapai Kota Mariupol.
Baca Juga: Rusia Kembali Umumkan Gencatan Senjata Rabu, Buka Koridor Evakuasi Warga Sipil dari 5 Kota Ukraina
Hampir dua minggu setelah invasi, Rusia telah maju jauh di sepanjang garis pantai Ukraina yang dapat membangun jembatan darat ke Krimea.
Mariupol, yang terletak di Laut Azov, pun telah dikepung oleh tentara Rusia selama berhari-hari.
Wakil Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereshchuk mengatakan Maruipol berada dalam situasi bencana.
Selama beberapa hari terakhir pasukan Moskow telah mengepung kota-kota di Ukraina. Upaya membuat koridor untuk mengevakuasi warga sipil dengan aman, terhalang oleh pertempuran yang terus berlanjut.
Selain itu Ukraina keberatan akan rute yang diusulkan, karena akan mengarahkan warga sipil ke Rusia atau sekutunya Belarusia.
Militer Rusia membantah menembaki konvoi dan menuduh pihak Ukraina menghalangi upaya evakuasi.
Salah satu evakuasi pada hari Selasa tampaknya berhasil. Vereshchuk mengatakan bahwa 5.000 warga sipil, termasuk 1.700 mahasiswa asing, telah dibawa keluar melalui koridor yang aman dari Sumy.
Adapun Sumy merupakan sebuah kota yang juga diserang, dimana serangan tadi malam menewaskan 21 orang, termasuk diantaranya dua anak.
Baca Juga: Perundingan Masih Buntu, Ini 4 Tuntutan Rusia yang Terlalu Berat bagi Ukraina
Di Mariupol, pihak berwenang berencana mulai menggali kuburan massal untuk semua korban tewas, meskipun jumlah hingga kini tidak diketahui.
Penembakan di Mariupol telah menghancurkan gedung-gedung. Saat ini kota tersebut tidak memiliki air panas, sistem pembuangan limbah atau layanan telepon.
Penjarahan juga terjadi untuk mendapatkan makanan, pakaian, bahkan furniture. Penduduk setempat menyebut praktik tersebut sebagai cara untuk 'mendapatkan diskon'.
Beberapa warga bahkan terpaksa menyendoki air dari sungai untuk memenuhi kebutuhan air mereka.
Dengan listrik padam, banyak orang mengandalkan radio mobil mereka untuk mendapatkan informasi. Mereka mendapatkan berita dari stasiun yang disiarkan dari daerah yang dikendalikan oleh pasukan Rusia atau separatis yang didukung Rusia.
Ludmila Amelkina, yang sedang berjalan di sepanjang gang yang dipenuhi puing-puing dan dinding yang dipenuhi tembakan, mengatakan kehancuran itu sangat mengerikan.
Baca Juga: Polandia akan Berikan MiG-29 Ke Amerika Serikat untuk Ukraina, Minta Tukar Jet Tempur Lain
“Kami tidak punya listrik, kami tidak punya apa-apa untuk dimakan, kami tidak punya obat. Kami tidak punya apa-apa, ”katanya seperti dikutip dari The Associated Press.
Di seluruh negeri, ribuan orang diperkirakan tewas, baik warga sipil maupun tentara, dalam pertempuran yang terjadi hampir dua minggu.
Kemajuan pasukan Rusia terhenti di daerah-daerah tertentu - termasuk di sekitar Kiev, di mana kendaraan lapis baja telah terhenti selama berhari-hari - oleh perlawanan sengit dari dari Ukraina.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.