BARCELONA, KOMPAS.TV — Ratusan ribu pengungsi warga Ukraina disambut hangat pemimpin negara Eropa dari Polandia, Hongaria, Bulgaria, Moldova, dan Rumania.
Namun, keramahtamahan itu justru menimbulkan sorotan berbeda ketika perlakuan terhadap para migran dan pengungsi Timur Tengah dan Afrika, khususnya warga Suriah yang datang pada tahun 2015, seperti dilaporkan Associated Press, Selasa, (1/3/2022).
Beberapa ungkapan dari para pemimpin negara-negara Eropa dianggap mengganggu.
“Ini bukan pengungsi yang kami terbiasa selama ini… orang-orang ini adalah orang Eropa,” Perdana Menteri Bulgaria Kiril Petkov mengatakan kepada wartawan awal pekan ini, tentang pengungsi asal Ukraina.
“Mereka orang-orang cerdas, mereka adalah orang-orang terpelajar.... Ini bukan gelombang pengungsi yang biasa kita alami, yaitu orang-orang yang tidak kita yakini identitasnya, orang-orang dengan masa lalu yang tidak jelas, yang bahkan bisa saja teroris…”
“Dengan kata lain,” tambahnya, “tidak ada satu pun negara Eropa sekarang yang takut dengan gelombang pengungsi saat ini.” tutur Perdana Menteri Bulgaria itu.
Wartawan Suriah Okba Mohammad mengatakan pernyataan itu "mencampurkan rasisme dan Islamofobia."
Mohammad melarikan diri dari kampung halamannya di Daraa, Suriah tahun 2018. Dia sekarang tinggal di Spanyol, dan bersama pengungsi Suriah lainnya mendirikan majalah dwibahasa pertama dalam bahasa Arab dan Spanyol.
Okba menggambarkan perasaan déjà vu saat dia mengikuti peristiwa di Ukraina. Dia juga berlindung di bawah tanah untuk melindungi dirinya dari bom Rusia. Dia juga berjuang untuk naik bus yang penuh sesak untuk melarikan diri dari kotanya. Dia juga dipisahkan dari keluarganya di perbatasan.
“Pengungsi adalah pengungsi, apakah (bangsa) Eropa, Afrika atau Asia,” kata Mohammad.
Baca Juga: Negara Afrika di Dewan Keamanan PBB Kutuk Rasisme atas Warga Kulit Hitam di Perbatasan Ukraina
Perubahan nada pembicaraan tercatat sangat mencolok dari beberapa pemimpin anti-migrasi paling ekstrem di Eropa, dari posisi “Kami tidak akan membiarkan siapa pun masuk” menjadi “Kami mengizinkan semua orang masuk.”
Pernyataan atas isu yang sama, pengungsi, namun bertolak belakang, dibuat hanya berselang tiga bulan oleh Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban. Yang pertama pada bulan Desember, ia berbicara tentang migran dan pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika. Yang kedua, minggu ini, dia berbicara tentang pengungsi dari Ukraina.
Beberapa jurnalis juga dikritik karena deskripsi mereka tentang pengungsi Ukraina. “Ini adalah orang-orang kelas menengah yang makmur,” kata seorang presenter televisi berbahasa Inggris Al Jazeera.
“Ini jelas bukan pengungsi yang mencoba melarikan diri dari daerah-daerah di Timur Tengah… di Afrika Utara. Mereka terlihat seperti keluarga Eropa tetangga Anda sebelah rumah,”
Namun Al Jazeera langsung meminta maaf dan mengatakan komentar itu tidak sensitif dan tidak bertanggung jawab.
CBS News juga meminta maaf setelah salah satu korespondennya mengatakan konflik di Kiev tidak “seperti Irak atau Afghanistan dimana konflik berkecamuk selama beberapa dekade. Ini adalah kota yang relatif beradab, relatif Eropa," tutur koresponden tersebut
Karena semakin banyak orang bergegas melarikan diri dari Ukraina, beberapa laporan muncul tentang penduduk non-kulit putih, termasuk Nigeria, India, dan Lebanon, terjebak dan mendapat diskriminasi di perbatasan Ukraina.
Tidak seperti orang Ukraina, banyak orang non-Eropa membutuhkan visa untuk masuk ke negara tetangga. Kedutaan dari seluruh dunia kontan kalang kabut membantu warganya melewati perbatasan Ukraina.
Baca Juga: Tidak Boleh Lewat karena Berkulit Hitam, Warga Afrika Terlunta-lunta di Perbatasan Ukraina-Polandia
Video yang dibagikan di media sosial dengan tagar #AfricansinUkraine diduga menunjukkan siswa Afrika dilarang naik kereta api untuk keluar dari Ukraina, demi memberi ruang bagi warga Ukraina.
Uni Afrika di Nairobi hari Senin, (28/2/2022) mengatakan setiap orang memiliki hak untuk melintasi perbatasan internasional untuk menghindari konflik.
Badan yang menaungi negara-negara di benua Afrika itu mengatakan "laporan bahwa orang Afrika sengaja dipilih untuk diperlakukan secara berbeda sungguh sangat rasis dan itu melanggar hukum internasional."
Uni Afrika mendesak semua negara untuk "menunjukkan empati dan dukungan yang sama kepada semua orang yang menyelamatkan diri dari perang terlepas dari identitas rasial mereka."
Duta Besar Polandia untuk PBB Krzysztof Szczerski mengatakan di Majelis Umum pada hari Senin, pernyataan diskriminasi berbasis ras atau agama di perbatasan Polandia adalah “kebohongan total dan penghinaan yang mengerikan bagi kami.”
“Warga negara dari semua negara yang menjadi korban agresi Rusia, atau yang hidupnya dalam bahaya dapat mencari perlindungan di negara saya,” katanya.
Szczerski mengatakan orang-orang dari sekitar 125 kebangsaan telah diterima di Polandia hingga Senin pagi asal Ukraina, termasuk warga Ukraina, Uzbekistan, Nigeria, India, Maroko, Pakistan, Afghanistan, Belarusia, Aljazair, dan banyak lagi. Secara keseluruhan, katanya, 300.000 orang masuk Polandia selama krisis.
Ketika lebih dari satu juta orang menyeberang ke Eropa pada tahun 2015, dukungan untuk pengungsi yang melarikan diri dari perang di Suriah, Irak, dan Afghanistan pada awalnya relatif tinggi.
Baca Juga: Warga Asing Mengeluh Diperlakukan Diskriminatif dan Rasis di Perbatasan Ukraina-Polandia
Ada juga saat-saat permusuhan, seperti ketika seorang juru kamera Hungaria difilmkan menendang dan mungkin membuat para migran tersandung di sepanjang perbatasan negara itu dengan Serbia.
Namun saat itu, kanselir Jerman, Angela Merkel, dengan terkenal mengatakan "Wir schaffen das" ("Yuk kita bisa melakukannya"), dan perdana menteri Swedia mendesak warga untuk "membuka hati Anda" bagi para pengungsi.
Relawan berkumpul di pantai Yunani untuk menyelamatkan keluarga yang kelelahan menyeberang dengan kapal dari Turki. Di Jerman, mereka disambut dengan tepuk tangan di stasiun kereta dan bus.
Namun sambutan hangat segera berakhir setelah negara-negara Uni Eropa tidak setuju tentang bagaimana berbagi tanggung jawab, dengan penolakan utama datang dari negara-negara Eropa Tengah dan Timur seperti Hongaria dan Polandia.
Satu per satu, pemerintah di seluruh Eropa memperketat kebijakan migrasi dan suaka, sehingga mendapat julukan "Benteng Eropa."
Baru minggu lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi mengecam meningkatnya "kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius" di perbatasan Eropa, dengan telunjuk mengarah ke Yunani.
Tahun lalu ratusan orang, terutama dari Irak dan Suriah dan dari Afrika, terdampar di tanah tak bertuan antara Polandia dan Belarusia ketika Uni Eropa menuduh Presiden Belarusia Alexander Lukashenko memikat ribuan orang asing ke perbatasannya sebagai pembalasan atas sanksi.
Pada saat itu, Polandia memblokir akses ke kelompok bantuan dan jurnalis. Akibat kebijakan itu, lebih dari 15 orang pengungsi tewas karena kedinginan.
Baca Juga: PM Hungaria Serukan Rusia-Ukraina Damai, Khawatir Gelombang Pengungsi Akan Masuk Negaranya
Sementara itu di Mediterania, Uni Eropa mendapat kritik karena membayar Libya untuk mencegat para migran yang mencoba mencapai pantai Eropa, dan membantu mengembalikan para pengungsi ke pusat-pusat penahanan yang kejam dan seringkali mematikan.
“Tidak ada cara untuk menghindari pertanyaan seputar rasisme yang tertanam dalam kebijakan migrasi Eropa, ketika kita melihat betapa berbedanya reaksi pemerintah nasional dan elit Uni Eropa terhadap orang-orang yang mencoba mencapai Eropa,” Lena Karamanidou, peneliti migrasi dan suaka independen di Yunani.
Jeff Crisp, mantan kepala kebijakan, pengembangan dan evaluasi di UNHCR, setuju bahwa ras dan agama mempengaruhi perlakuan terhadap pengungsi.
“Negara-negara yang benar-benar negatif (buruk) dalam masalah pengungsi dan mempersulit Uni Eropa untuk mengembangkan kebijakan pengungsi yang koheren selama dekade terakhir, ujug-ujug muncul dengan respons yang jauh lebih positif,” kata Crisp.
Anggota partai berkuasa dari aliran nasionalis konservatif Polandia menggemakan pemikiran "Orban", mengatakan mereka ingin melindungi identitas Polandia sebagai negara Kristen dan menjamin keamanannya.
Pemikiran "Orban" terhadap migrasi didasarkan pada keyakinannya bahwa untuk “melestarikan homogenitas budaya dan homogenitas etnis,” Hongaria tidak boleh menerima pengungsi dari budaya dan agama yang berbeda.
Argumen-argumen ini belum diterapkan pada tetangga Ukraina mereka, yang dengannya mereka berbagi ikatan sejarah dan budaya. Bagian dari Ukraina hari ini dulunya juga bagian dari Polandia dan Hongaria.
Baca Juga: Polandia Siap Tampung Pengungsi Ukraina jika Rusia Menyerang
Lebih dari 1 juta orang Ukraina tinggal dan bekerja di Polandia dan ratusan ribu lainnya tersebar di seluruh Eropa. Sekitar 150.000 etnis Hongaria juga tinggal di Ukraina Barat, banyak di antaranya memegang paspor Hongaria.
“Ini nggak sepenuhnya tidak wajar bagi orang untuk merasa lebih nyaman berada diantara orang-orang yang datang dari dekat, yang berbicara bahasa (mirip) atau memiliki budaya (mirip)," kata Crisp.
Di Polandia, Ruchir Kataria, seorang sukarelawan India, mengatakan kepada Associated Press hari Minggu, rekan-rekannya terjebak di sisi perbatasan Ukraina yang melintasi Medyka, Polandia.
Di Ukraina, mereka awalnya disuruh pergi ke Rumania, yang jaraknya ratusan kilometer, katanya, setelah mereka melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki ke perbatasan dan tidak makan selama tiga hari.
Akhirnya, setelah isu tersebut ramai, hari Senin rekan-rekan Ruchir berhasil melewati perbatasan Ukraina untuk masuk ke Polandia.
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.