Pertama, gencatan senjata. Karena hal itu menurutnya sangat penting bagi perlindungan warga sipil yang ada di Ukraina.
Kedua, tuntutan dari pihak Rusia, yang menurut dugaannya, tuntutan itu dalam bentuk Presiden Ukraina turun dan kemudian diganti.
“Sama dengan ketika AS masuk ke Irak dan menghendaki Saddam Husein turun dan kemudian diganti,” ujarnya.
Ketiga, lanjut dia, tuntutan Ukraina untuk diakui kemerdekaannya, dan tidak ada pengakuan untuk kedua republik yang baru saja diakui Rusia.
“Tiga hal ini yang saya duga menjadi kesepakatan antara Rusia-Ukraina. Tapi butuh waktu, terutama soal turunnya Presiden Ukraina,” sebutnya.
Hikmahanto juga menyayangkan pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang menyebut bahwa serangan terhadap Ukraina tidak dapat diterima. Indonesia sebaiknya bersikap netral.
Menurutnya, meskipun pernyataan pada akun Twitter resmi Kemlu tersebut tidak menyebut Rusia, namun bagi pihak Rusia, hal itu bisa dianggap berpihak pada Ukraina.
Baca Juga: Proses Negosiasi di Belarusia Buntu, Rusia dan Ukraina Sepakat Gelar Pertemuan Kedua
“Saya berpendapat, Indonesia selayaknya bersikap netral dan memastikan jalan damai ditempuh.”
“Saya menyayangkan Kemlu yang menyatakan serangan terhadap Ukraina, walau tak menyebut Rusia, itu tidak dapat diterima, karena bagi pihak Rusia itu (berarti) berpihak pada Ukraina,” urainya.
Hikmahanto berharap agar pernyataan tersebut diperbaiki, dan tetap berpedoman pada pernyataan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang meminta perang dihentikan dan gencatan senjata, serta mengeluarkan resolusi agar PBB membuat peace keeping operation dan memastikan keselamatan warga sipil Ukraina.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.