MOSKOW, KOMPAS.TV - Video TikTok Rusia punya semuanya, yakni kucing, anak anjing, dan latar belakang lucu yang seru, mudah dimengerti, dan sepertinya bukan bahan propaganda negara. Tapi jangan salah!
Tahun 2014, Rusia membanjiri internet dengan akun palsu yang mendorong disinformasi tentang pengambilalihan Krimea. Delapan tahun kemudian, para ahli mengatakan Rusia melakukan upaya yang jauh lebih canggih saat menginvasi Ukraina. Begini ceritanya, seperti dilaporkan Associated Press, Sabtu (26/2/2022).
Pasukan troll dan bot di TikTok bekerja membakar sentimen anti-Ukraina. Outlet media yang dikendalikan negara berupaya memecah belah khalayak Barat. Video TikTok yang cerdas menyajikan nasionalisme Rusia dengan sisi humor.
Upaya tersebut keluar dari gudang senjata Rusia, dengan tujuan membentuk opini melalui pertempuran disinformasi, yang diatur bersama pasukan dan senjata yang sebenarnya.
Dalam video kucing, seekor anak anjing husky yang diidentifikasi dengan bendera Amerika Serikat dimasukkan secara digital menggesek ekor kucing yang diidentifikasi dengan bendera Rusia. Kucing itu merespons dengan pukulan ganas yang membuat anjing malang itu lari terkaing-kaing.
Klip yang telah dilihat 775.000 kali dalam dua minggu ini, adalah karya akun bernama Funrussianprezident yang memiliki 310.000 pengikut. Hampir semua videonya menampilkan konten pro-Rusia.
“Itu bisa saja orang Rusia patriotik biasa yang memperjuangkan hal-hal baik seperti yang mereka lihat, atau bisa saja (video itu) dengan mudah diduga berafiliasi langsung dengan negara,” kata Nina Jankowicz, peneliti disinformasi dan pakar Eropa Timur di Wilson Center di Washington.
“Rusia menyempurnakan taktik ini, dan sekarang mereka memanfaatkannya dalam peperangan.
Baca Juga: Ukraina Minta Palang Merah Internasional Bantu Pulangkan Ribuan Mayat Tentara Rusia
Analis di beberapa organisasi penelitian berbeda yang dihubungi oleh The Associated Press mengatakan, mereka melihat peningkatan tajam aktivitas online oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan negara Rusia.
Itu sesuai dengan strategi Rusia menggunakan media sosial dan outlet yang dikelola negara untuk menggalang dukungan domestik sambil berusaha untuk mengacaukan aliansi Barat.
Di seluruh internet, ada peningkatan pesat dalam akun mencurigakan yang menyebarkan konten anti-Ukraina, menurut laporan dari Cyabra, sebuah perusahaan teknologi Israel yang bekerja untuk mendeteksi disinformasi.
Analis Cyabra melacak ribuan akun Facebook dan Twitter yang baru-baru ini memposting tentang Ukraina. Para peneliti melihat peningkatan konten anti-Ukraina yang tiba-tiba dan dramatis pada hari-hari sebelum invasi.
Pada Hari Valentine, misalnya, jumlah posting anti-Ukraina yang dibuat oleh sampel akun Twitter melonjak 11.000 persen jika dibandingkan dengan beberapa hari sebelumnya.
Analis percaya sebagian besar akun tidak autentik dan dikendalikan oleh kelompok yang terkait dengan pemerintah Rusia.
“Ketika Anda melihat peningkatan 11.000 persen, Anda tahu sesuatu sedang terjadi,” kata CEO Cyabra Dan Brahmy. “Tidak ada yang tahu siapa yang melakukan ini di belakang layar. Kami hanya bisa menebak.”
Pengerjaannya sudah berlangsung beberapa waktu.
Baca Juga: Kemlu Perbarui Data WNI di Ukraina: Total Sebanyak 153, Sebagian Besar Berada di Kiev
Para peneliti di Laboratorium Penelitian Forensik Digital Dewan Atlantik atau Atlantic Council's Digital Forensic Research Lab menganalisis 3.000 artikel oleh 10 outlet berita milik negara Rusia. Mereka melihat peningkatan besar dalam klaim tak berdasar bahwa Ukraina siap menyerang kelompok separatis.
Secara keseluruhan, klaim media Rusia tentang agresi Ukraina melonjak 50 persen pada bulan Januari, menurut penelitian tersebut.
“Inilah cara mereka berperang. Itu adalah bagian sentral dari doktrin Rusia,” kata Jim Ludes, mantan analis pertahanan AS yang sekarang memimpin Pell Center for International Relations and Public Policy di Salve Regina University.
Ludes mengatakan kampanye disinformasi Rusia dimaksudkan untuk menggalang dukungan sambil membingungkan dan memecah belah lawan-lawan negara itu.
Rusia menyesuaikan pesan propagandanya untuk audiens tertentu.
Untuk Rusia dan separatis pro-Rusia di Ukraina, pesannya adalah, Rusia berusaha membela rakyatnya sendiri dari agresi dan penganiayaan yang dipicu oleh Barat di Ukraina.
Taktik serupa telah digunakan, termasuk oleh Nazi Jerman ketika menginvasi Cekoslowakia dengan kedok melindungi etnis Jerman yang tinggal di sana.
“Bukan orang baik yang menggunakan taktik ini,” kata Ludes. “Ini bahasa penaklukan, bukan bahasa demokrasi.”
Baca Juga: Tolong Ukraina dari Serangan Rusia, Biden Berikan Bantuan Militer Senilai Rp8,6 Triliun
Di Barat, Rusia berusaha menabur perpecahan dan mengurangi kemungkinan tanggapan internasional yang terpadu. Ini dilakukan sebagian melalui outlet media yang dikendalikan negara seperti Sputnik dan RT, yang menerbitkan dalam bahasa Inggris, Spanyol dan beberapa bahasa lainnya.
“Invasi tidak jadi dilaksanakan,” tulis salah satu berita utama di RT minggu lalu, hanya beberapa hari sebelum pasukan Rusia masuk ke Ukraina timur.
“Tucker Carlson Mengecam Biden karena Fokus pada Putin dan Ukraina Daripada Masalah Domestik AS,” tulis Sputnik News, yang mencerminkan praktik umum Rusia, mengutip kritik pemerintah di Amerika Serikat (seperti pembawa acara Fox News Carlson) untuk memberi sugesti para pemimpin Amerika tidak berpijak pada kenyataan.
Rusia juga menggunakan serangan siber dalam invasinya ke Ukraina, dan meskipun hal itu menimbulkan ancaman serius, propaganda online dapat meninggalkan kerusakan yang lebih langgeng jika berhasil, seperti dikatakan pensiunan Letnan Jenderal Angkatan Darat Michael Nagata, mantan direktur perencanaan operasional strategis di Pusat Kontraterorisme Nasional Amerika Serikat.
“Apa yang jauh lebih berbahaya adalah kemampuan Rusia untuk memengaruhi apa yang diyakini oleh penduduk di mana pun,” kata Nagata.
“Untuk membuat mereka mempercayai hal-hal yang berguna untuk kepentingan strategis Rusia... Jika Anda dapat mengubah apa yang diyakini oleh seluruh penduduk, Anda mungkin tidak perlu menyerang apa pun,” pungkas Nagata.
Baca Juga: Korban Tewas Serangan Rusia ke Ukraina Capai 198 Jiwa, Tiga di Antaranya Anak-Anak
Uni Eropa mengisyaratkan keprihatinannya tentang RT pada hari Rabu saat memasukkan pemimpin redaksi RT dalam daftar sanksi yang dikenakan pada pejabat Rusia.
Uni Eropa menyebut pemimpin RT, Margarita Simonyan sebagai “tokoh sentral propaganda pemerintah.”
Hari Sabtu, Facebook mengumumkan mereka akan melarang RT menjalankan iklan di situsnya dan mengatakan akan memperluas penggunaan label untuk mengidentifikasi media yang dikelola pemerintah.
Ludes mengatakan dia senang melihat Amerika Serikat dan sekutunya secara paksa mendorong balik disinformasi Rusia dan bahkan berusaha untuk mencegahnya menjadi kenyataan dengan mengungkapkan secara terbuka rencana Rusia.
“Pemerintahan Biden menunjukkan beberapa kreativitas dalam menggunakan informasi intelijen untuk menanggapi (perkembangan keadaan),” katanya. “Kami belum pernah melihatnya dari Barat sejak hari-hari perang dingin.”
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.