“Kami sudah lama menjadi batalyon babushka. Pada tahun 2014, kami menggali parit, mendirikan pangkalan lapangan dan kami menyumbangkan bantal dan selimut, piring, mug, kami membawa semua yang kami bisa,” kata Smahlenko, berpakaian pink kehitaman dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Anda mencoba membantu para prajurit dan mereka menjadi seperti anak-anak Anda. Kemudian salah satu dari mereka mati. Banyak yang sekarang hilang dan setiap kali, rasanya seperti anak-anak Anda yang sekarat dan mati.”
Dia juga siap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi Mariupol dan untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada para pemuda yang muncul pada 2014 dan "yang pertama di antara yang terluka akibat penembakan".
“Saya siap bertarung jika Rusia menyerang, bahkan jika saya harus berkelahi dengan mereka. Mereka bukan saudara kita,” katanya.
Sementara pemerintah Ukraina sengaja menganggap ringan ancaman serangan untuk tidak membuat panik, sementara Amerika Serikat justru memperingatkan serangan bisa datang kapan saja sekarang, gerakan Azov mengatakan krisis sekarang pada puncak tertinggi dan "sangat berbahaya".
Baca Juga: Sepotong Harapan: Kremlin Pertimbangkan Jalur Diplomatik untuk Krisis Ukraina
Tindakan pencegahan pemerintah diragukan
Banyak pihak di Ukraina mempertanyakan kesiapan dan persiapan pemerintah mereka menyediakan tempat perlindungan dari serangan, karena banyak tempat perlindungan dari serangan bom yang rusak.
Selain itu, banyak keluhan tidak adanya sistem peringatan digital, meskipun pemerintah Ukraina mengaku sedang merancang hal tersebut.
Pemerintah Ukraina beberapa waktu lalu membentuk sebuah tim pertahanan teritorial sipil untuk melatih tentara cadangan, tetapi baru sedikit pelatihan kewaspadaan atas lingkungan yang berbahaya disediakan kepada warga.
Kelompok Azov mengatakan mereka menyelenggarakan pelatihan secara teratur kepada warga untuk membantu mempersiapkan penduduk agar dapat lebih mandiri jika terjadi serangan, sehingga memungkinkan tentara untuk berkonsentrasi pada masalah militer.
“Kami tidak bisa membenamkan kepala kami di pasir karena itu paling tidak bertanggung jawab, jadi kami menyelenggarakan acara ini hari ini secara khusus untuk mengambil tanggung jawab di pundak kami sendiri. Warga sipil di sini adalah tanggung jawab kami dan mereka perlu tahu bahwa kami akan berdiri di sini sampai titik darah penghabisan,” kata seorang komandan Azov, yang meminta tidak disebutkan namanya, kepada Al Jazeera.
“Kami akan berdiri di tanah kami sampai kami mati.”
'Semuanya terbakar'
Bagi Liudmyla Halbay, 72, yang menyelenggarakan kelas bahasa Ukraina gratis di wilayah yang didominasi penutur bahasa Rusia, pelatihan tersebut membuatnya merasa lebih aman di tengah prediksi apokaliptik yang dipimpin oleh media Barat.
Tidak peduli seberapa tinggi tingkat ancaman, bagaimanapun, baginya mengungsi bukanlah pilihan.
“Saya tidak punya tas evakuasi atau grab bag tahun 2014 dan saya sekarang juga tidak mempersiapkan itu. Saat semuanya terbakar dan runtuh di sekitar saya, yang saya lakukan hanyalah melihat bagaimana saya bisa membantu,” kata Halbay, berpakaian serba hitam mengenakan topi bulu yang melambai tertiup angin lembut musim dingin Ukraina.
“Kita harus bertahan entah bagaimana dan ini membantu meredakan rasa takut. Kami juga berharap seluruh dunia akan membantu kami dan perang tidak akan terjadi.”
Sumber : Kompas TV/Al-Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.