Dbeibah, seorang pengusaha berpengaruh dari Misrata, pada Maret ditunjuk menjadi kepala Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang didukung PBB.
Ia ditugaskan memimpin negara itu hingga digelar pemilihan pada 24 Desember.
Ia diberi peran sementara dengan catatan tidak mengikuti pemilihan.
Namun, ia mendeklarasikan diri sebagai kandidat pada November.
Langkah ini dianggap tak adil oleh banyak kalangan.
Pemilihan itu akhirnya dibatalkan di tengah perselisihan antara faksi-faksi yang bersaing menyoal undang-undang pemilihan.
Parlemen yang sebagian besar anggotanya mendukung pasukan timur selama perang negara itu kemudian menyatakan bahwa GNU tak valid.
Pada Kamis (10/2), parlemen dijadwalkan memilih pemimpin sementara yang baru antara dua kandidat, yakni mantan menteri dalam negeri yang berkuasa Fathi Bashagha (59), dan seorang mantan pejabat di kementerian itu, Khaled al-Bibass (51).
Pemungutan suara itu seperti mengulang skema 2014, yang memunculkan dua pemerintahan paralel.
Baca Juga: Sadis! Tentara Libya Tembak Mati Enam Imigran di Pusat Penahanan
Pada awal pekan ini, Dbeibah menyatakan, ia akan melawan upaya perlawanan dari parlemen yang berbasis di kota Tobruk di timur yang hendak melengserkan pemerintahannya yang berbasis di Tripoli.
“Saya tak akan menerima fase transisional yang baru atau otoritas paralel,” ujarnya seraya mengimbuhkan: “Pemerintahan saya hanya akan menyerahkan kekuasaan pada ‘satu pemerintahan terpilih”.
PBB dan negara-negara Barat, juga sejumlah anggota parlemen telah meminta Dbeibah agar tetap dalam perannya hingga saat pemilihan.
Namun tanggal baru untuk pemungutan suara masih belum ditentukan.
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.