MOSKOW, KOMPAS.TV - Presiden Rusia Vladimir Putin menjamu Presiden Prancis Emmanuel Macron di Moskow, Senin (7/2/2022). Kedua pemimpin itu membahas situasi di perbatasan Ukraina yang memanas.
Putin dan Macron mengaku belum bisa sepakat mengenai penyelesaian sengketa Rusia-Ukraina. Namun, usulan yang diajukan Macron disebut Putin bisa menjadi basis penyelesaian konflik di kemudian hari.
Konflik Rusia-Ukraina sendiri berkisar pada tuntutan Kremlin agar Ukraina dan negara bekas Uni Soviet lain tak diterima untuk bergabung dengan NATO. Namun, Amerika Serikat (AS), NATO, dan Ukraina menolak tuntutan tersebut.
Rusia pun mengirim sekitar 100.000 pasukan ke perbatasan Ukraina. Kremlin menolak tuntutan Barat agar konsentrasi pasukan dibubarkan.
Washington bahkan menuding Moskow sedang menyiapkan dalih untuk melancarkan invasi total ke Ukraina.
Kremlin menampik tuduhan bahwa mereka merencanakan invasi. Pemerintahan Putin menyebut AS dan sekutunya justru memprovokasi.
Baca Juga: Rusia dan AS Bentrok di Sidang Dewan Keamanan PBB, Moskow Kecam Sanksi Sepihak Barat
Vladimir Putin sendiri mengaku pihaknya siap melanjutkan negosiasi kendati ada perbedaan mendasar antara tuntutan dua pihak yang berkonflik.
Putin mengaku syarat bahwa Ukraina tak boleh gabung NATO adalah mutlak. Ia bahkan mengancam akan terjadi perang besar jika NATO nekat menerima Ukraina.
Alasannya, Putin khawatir Ukraina bisa dijadikan pangkalan NATO dan negara itu memiliki dukungan militer besar untuk merebut Semenanjung Krimea.
“Jika Ukraina menjadi anggota NATO dan bergerak merebut kembali Krimea, negara-negara Eropa secara otomatis akan terseret konflik militer dengan Rusia. Tidak akan ada pemenang,” kata Putin.
Kekhawatiran Putin juga berdasarkan persenjataan NATO kepada negara-negara anggotanya di dekat kawasan Eropa Timur seperti Estonia, Lituania, Latvia, Rumania, dan Polandia.
Baca Juga: Kisah Tentara Ukraina di Perbatasan: Rasanya Terlalu Hening Disini, seperti Keheningan sebelum Badai
Dalam tuntutannya kepada NATO, Kremlin pun meminta aliansi pertahanan itu menarik pasukan dari negara-negara tersebut.
Pemerintahan Vladimir Putin memandang Ukraina sebagai tetangga strategis dari segi pertahanan. Maka dari itu, Kremlin nekat melakukan operasi militer di Krimea dan mendukung kelompok separatis Donbass usai Presiden Viktor Yanukovych didongkel dan Kyiv menjadi cenderung pro-Barat.
Kekhawatiran dalam aspek pertahanan membuat Kremlin enggan surut dari tuntutan menolak negara-negara bekas Soviet diterima NATO. Sebaliknya, NATO juga enggan didikte oleh Moskow.
Dua sikap tegas tersebut membuat negosiasi diplomatis akhir-akhir ini berjalan buntu. Namun, usai kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Senin (7/2) lalu, Putin mengaku usulan Macron berpeluang dijadikan basis untuk mewujudkan resolusi konflik Rusia-Ukraina.
Presiden Macron sendiri segera bertolak ke Kyiv untuk bertemu Presiden Volodymyr Zelensky usai rapat dengan Putin.
Di lain pihak, Jerman juga berusaha aktif menengahi perselisihan Rusia-Ukraina. Kanselir Jerman Olaf Scholz dilaporkan akan mengunjungi Kyiv dan Moskow pada 14-15 Februari mendatang.
Sebelumnya, Prancis dan Jerman berperan aktif menengahi konflik Rusia-Ukraina terkait Krimea dan kelompok separatis. Mediasi dua negara itu membuahkan Persetujuan Minsk II pada 2015.
Akan tetapi, Moskow menuduh Ukraina ogah-ogahan menerapkan perjanjian tersebut. Kyiv sendiri mengaku jika penerapan Persetujuan Minsk II bisa merugikan Ukraina.
Baca Juga: Tidak Ada Rencana Ukraina Gabung NATO, tapi Kenapa Putin Bersikap Keras? Ini Sebabnya
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.