JAKARTA, KOMPAS.TV- Negeri Ratu Elizabeth II, Inggris, tengah mengalami inflasi tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Inflasi Inggris pada Desember 2021 tercatat 5,4 persen dibanding Desember 2020. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak 1992.
Mengutip dari Bloomberg, Kamis (20/1/2022), meroketnya angka inflasi di Inggris disebabkan mahalnya biaya energi. Hal itu mengakibatkan naiknya tarif transportasi, harga makanan minuman, perabot, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Di sisi yang lain, upah warga Inggris hanya naik 3,8 persen per Desember 20221, dibawah tingkat inflasi. Kenaikan harga-harga di Inggris mulai terjadi pada April 2021, saat harga sumber energi seperti gas mulai naik. Sehingga keluarga di Inggris harus mengeluarkan biaya rata-rata sebesar 1.075 dollar AS untuk membayar listrik di tahun 2021.
Ditambah lagi, pemerintahan Boris Johnson menaikkan sejumlah tarif pajak. Ekonom memperkirakan, inflasi Inggris bisa mencapai 7 persen pada awal kuartal II tahun ini atau pada bulan April.
Baca Juga: Jerman Tolak Proposal Energi Atom Uni Eropa, Anggap Nuklir Berbahaya
Di sisi lain, Boris Johnson juga menerapkan pajak tambahan kepada perusahaan minyak dan gas. Dengan harapan menambah pemasukan negara seiring naiknya harga energi.
Inflasi tinggi akibat kenaikan harga energi, sebenarnya bukan hanya melanda Inggris. Banyak negara yang selama ini mengandalkan gas sebagai sumber energi, juga mengalami inflasi tinggi. Dan hal itu diprediksi masih akan terus berlanjut.
Bos perusahaan gas British Gas Centrica, Chris O'Shea bahkan memprediksi harga gas masih akan naik 50 persen dalam satu tahun.
O'Shea menyebut kenaikan harga gas bisa mengancam kehidupan jutaan orang.
"Tidak ada alasan dan harapan harga gas bisa turun dalam waktu dekat," kata O'Shea.
Baca Juga: China Bantah Tuduhan Inggris Miliki Mata-Mata di Parlemen: Mereka Terobsesi James Bond 007
Menurutnya, harga gas bisa naik ke level 2.000 poundsterling atau setara Rp39 juta (kurs Rp 19.500). O'Shea memperkirakan, kenaikan harga bisa terjadi selama dua tahun ke depan.
"Pasar menunjukkan harga gas yang tinggi akan berada di sini selama 18 bulan hingga dua tahun ke depan," ujarnya.
Ia pun menyatakan sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah negara-negara untuk membantu masyarakat, saat harga gas meroket.
Pertama, berikan diskon pajak energi sebesar 5 persen untuk sementara atau permanen. Kedua, jangan menggunakan utang untuk mendanai transisi energi hijau. Tapi lebih baik gunakan pungutan perpajakan umum.
Baca Juga: Pesta Miras saat Pangeran Phillip akan Dimakamkan, Pemerintah Inggris Minta Maaf ke Ratu Elizabeth
Ketiga, berikan dukungan kepada perusahaan energi melalui pinjaman, yang dapat dipinjam oleh perusahaan ketika harga gas tinggi dan membayar kembali setelah jatuh.
"Tiga hal itu bersama-sama, bisa diberlakukan dengan sangat cepat, tanpa penyesalan. Dan itu akan mengatasi setengah dari kenaikan harga. Dan kemudian Anda bisa mendapatkan bantuan lebih lanjut yang ditargetkan untuk rumah tangga yang paling membutuhkan," kata O'Shea.
Bukan hanya harga gas yang masih tinggi, harga minyak juga sedang naik. Naiknya harga minyak disebabkan terbatasnya jumlah pasokan dan ekspektasi meningkatnya permintaan minyak global. Meskipun kasus Covid-19 kembali melonjak akibat varian Omicron.
Di sisi permintaan, Ketua Federal Reserve (Fed) Jerome Powell mengatakan pada Selasa (11/1/2022) bahwa ia memperkirakan dampak ekonomi Omicron akan berumur pendek, menambahkan bahwa kuartal berikutnya bisa sangat positif bagi perekonomian setelah lonjakan yang didorong oleh varian itu mereda.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.