Sekitar 50 pekerja dari perusahaan bawahan Repsol berupaya memindahkan pasir-pasir hitam itu dari pantai.
Juan Carlos Riveros, biolog Oceana Peru, organisasi yang fokus di isu perlindungan lingkungan kelautan, menyebut spesies paling terdampak tumpahan minyak adalah burung camar, burung guano, dara laut, singa laut, dan lumba-lumba.
“Tumpahan juga memengaruhi sumber utama nelayan tradisional, karena akses mereka ke area penangkapan ikan tradisional terhalang atau spesies yang mereka incar terkontaminasi atau mati,” kata Riveros.
“Dalam jangka pendek, ketidakpercayaan timbul atas kualitas hasil tangkapan, yang mana kemudian harga-harga (ikan) jatuh dan pemasukan berkurang,” imbuhnya.
Pemerintah Peru memperkirakan sekitar 18.000 meter persegi di pesisir terdampak tumpahan minyak.
Menurut pemerintah Peru, insiden ini disebabkan Repsol “tidak menerapkan kebijakan segera untuk mencegah kerusakan kumulatif atau lebih serius yang memengaruhi daratan, air, flora, fauna dan sumber daya hidrobiologis.”
Baca Juga: KKP Panggil Pertamina terkait Kasus Darurat Tumpahan Minyak di Aceh
Jose Llacuachaqui, seorang pemimpin nelayan, menyebut perusahaan sekadar membersihkan minyak dari pantai, tetapi tidak membersihkan perairan.
“Itu sama saja memangsa, membunuh seluruh telur dan seluruh spesies maritim,” kata Llacuachaqui.
Senada dengan Llacuachaqui, Roberto Espinoza, pemimpin nelayan lain, menyebut Repsol “membantai” biota laut Peru.
“Ini pembantaian terhadap seluruh keanekaragaman hayati hidrobiologis. Di tengah pandemi, laut memberi makan kami. Karena tak punya rencana pencegahan, mereka (Repsol) telah menghancurkan basis keanekaragaman hayati,” kata Espinoza.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.