Singkatnya, mereka menuntut penggulingan kekuatan politik yang telah memerintah negara itu tanpa oposisi substansial sejak mencapai kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991.
Terjepit di antara Rusia dan Cina, Kazakhstan adalah negara tanpa perbatasan laut terbesar di dunia, lebih besar dari seluruh Eropa Barat, dengan populasi hanya 19 juta orang.
Demonstrasi terakhir menjadi penting karena negara itu sampai sekarang dianggap sebagai pilar stabilitas politik dan ekonomi di wilayah yang tidak stabil. Stabilitas politik itu harus dibayar dengan pemerintah yang menahan perbedaan pendapat.
Unjuk rasa kali ini juga signifikan, karena Kazakhstan telah disejajarkan dengan Rusia, yang presidennya, Vladimir Putin, memandang Kazakhstan sebagai kembaran Rusia dalam hal sistem ekonomi dan politik, sebagai bagian dari lingkup pengaruh Rusia.
Bagi Kremlin, peristiwa tersebut merupakan tantangan lain yang mungkin dihadapi oleh kekuatan otokratis di negara tetangga.
Ini adalah pemberontakan ketiga terhadap negara yang bersekutu dengan Kremlin, setelah unjuk rasa pro-demokrasi di Ukraina pada tahun 2014 dan di Belarus pada tahun 2020.
Kekacauan tersebut mengancam melemahkan pengaruh Moskow di wilayah tersebut pada saat Rusia mencoba untuk menegaskan pengaruh dan kekuasaan ekonomi dan geopolitiknya di negara-negara seperti Ukraina dan Belarus.
Negara-negara bekas Uni Soviet juga mengamati unjuk rasa Kazakhstand dengan cermat, dan peristiwa di Kazakhstan dapat membantu memberi energi pada kekuatan oposisi di tempat lain.
Baca Juga: Didemo Rakyat, Presiden Kazakhstan Bubarkan Kabinet dan Tetapkan Keadaan Darurat
Kazakhstan juga penting bagi Amerika Serikat, karena menjadi negara yang signifikan bagi masalah energi negeri Paman Sam. Exxon Mobil dan Chevron, perusahaan energi AS, menanamkan puluhan miliar dolar di Kazakhstan barat, lokasi wilayah kerusuhan dimulai bulan ini.
Meskipun memiliki hubungan dekat dengan Moskow, pemerintah Kazakh juga mempertahankan hubungan dekat dengan Amerika Serikat. Lantaran, investasi minyak dipandang sebagai penyeimbang pengaruh Rusia.
Pemerintah Kazakhstan mencoba untuk memadamkan unjuk rasa dengan memberlakukan keadaan darurat dan memblokir situs jejaring sosial dan aplikasi percakapan, termasuk Facebook, WhatsApp, Telegram, dan, untuk pertama kalinya, aplikasi China WeChat. Unjuk rasa publik tanpa izin ditetapkan sebagai ilegal.
Pemerintah juga mengakui beberapa tuntutan para pengunjuk rasa, seperti membubarkan Kabinet dan mengumumkan kemungkinan pembubaran Parlemen, yang akan menghasilkan pemilihan umum baru. Namun, sejauh ini, langkah itu gagal menjinakkan ketidakpuasan massa.
Kurang dari tiga tahun lalu, presiden Kazakhstan yang sudah renta, Nursultan Nazarbayev, sekarang berusia 81 tahun, mengundurkan diri.
Nazarbayev adalah seorang mantan pekerja pabrik baja dan pemimpin Partai Komunis. Ia naik ke tampuk kekuasaan Kazakhstan pada tahun 1989, ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Selama pemerintahannya, ia menarik investasi besar dari perusahaan energi asing untuk mengembangkan cadangan minyak negara, yang diperkirakan mencapai 30 miliar barel. Cadangan minyak ini termasuk yang terbesar dari semua bekas republik Soviet.
Sebagai presiden terakhir yang masih hidup di Asia Tengah yang mengarahkan negaranya menuju kemerdekaan setelah Uni Soviet runtuh, ia menyerahkan kekuasaan pada 2019 kepada Tokayev, yang saat itu menjadi ketua Majelis Tinggi Parlemen dan mantan perdana menteri dan menteri luar negeri.
Tokayev secara luas dianggap sebagai penerus Nazarbayev, yang sampai saat ini dianggap memegang kekuasaan yang cukup besar, memegang gelar "Pemimpin Bangsa" dan menjabat sebagai ketua Dewan Keamanan negara itu. Tetapi, pemberontakan bisa menjadi pemutusan kekuasaan yang menentukan.
Sumber : Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.