JAKARTA, KOMPAS.TV - Mulai November 2021, Indonesia memegang presidensi G20 dengan tema “Recover Together, Recover Stronger” yang mengajak dunia untuk bersama-sama pulih, dan tumbuh lebih kuat.
Kepemimpinan Indonesia yang hanya akan terjadi 20 tahun lagi dipandang kalangan akademisi hubungan internasional sebagai nation branding.
Dunia akan menyorot citra dan reputasi Indonesia dalam hal pencapaian dan kegagalan, serta kelebihan dan kekurangan rakyat dan produk yang dihasilkan.
Dosen dan pengamat hubungan internasional dari FISIP Universitas Katolik Parahyangan Adrianus Harsawaskita kepada Kompas TV menulis, tantangan dan pekerjaan rumah (PR) bagi Indonesia di tahun 2022 pelik membentang, terutama tentang isu-isu dalam negeri yang kerap terkait dengan hubungan luar negeri menjelang kepemimpinan Indonesia di G20.
Harsawaskita melihat, mulai Januari 2021, Indonesia mengalami berbagai masalah. Masalah pertama, bencana alam terutama yang terkait perilaku manusia seperti perusakan hutan dan pembangunan yang tidak semestinya.
Bencana alam dan kebijakan luar negeri terkait secara tidak langsung. Dalam KTT Iklim Conference of the Parties (COP26), Indonesia berkomitmen untuk mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan pada 2030. Komitmen ini mendapat catatan khusus dari Harsawaskita.
Pertama, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang banyak kehilangan hutan selama dua dekade terakhir.
Kedua, sehari setelah KTT, di media sosial ada seorang pejabat setingkat menteri yang mengunggah pernyataan mengenai pembangunan Indonesia, yang sayangnya bertentangan dengan komitmen di COP26 itu.
Baca Juga: Tiga Agenda Besar Hubungan Luar Negeri Indonesia 2022, Salah Satunya Ketegangan Laut China Selatan
Masalah kedua adalah kekerasan di Papua yang terus terjadi yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok pendukung kemerdekaan Papua.
Dewasa ini, menurut Harsawaskita, konflik di Papua bukan saja masalah separatisme, tetapi juga sudah ada upaya-upaya memasukkan masalah rasisme, dan beberapa kali ditengarai terjadi di beberapa kota di Indonesia.
Menurut Harsawaskita, isu kekerasan, separatisme, dan rasisme Papua bukanlah hal positif bagi citra internasional Indonesia.
Penanganan masalah lingkungan dan Papua, menurut dia, mengharuskan Jakarta bermain di dua papan: internasional dan nasional.
Terutama dalam konteks internasional, Harsawaskita mengatakan, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI dituntut selalu siap dan kreatif dalam menghadapi kritik publik internasional.
Masalah ketiga yang menonjol menurut Harsawaskita adalah ketidaktegasan Jakarta soal penyelesaian masalah pelecehan kedaulatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara dan di perairan Laut China Selatan yang bersinggungan dengan wilayah Indonesia.
Pelecehan yang terus berulang yang dilakukan China lewat nelayan dan kapal penelitian, serta teguran Beijing soal aktivitas pengeboran Indonesia di perairan RI.
Tindak-tanduk China di Laut China Selatan, kata Harsawaskita, harus ditanggapi sangat serius.
Beijing sudah mengabaikan keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen Den Haag pada 2016 terkait perselisihannya dengan Manila.
Harsawaskita juga menilai, teguran Beijing terhadap aktivitas sah Indonesia di Laut Natuna Utara makin menunjukkan bahwa upaya China saat ini sudah keluar dari pendekatan legalistik untuk mendukung klaimnya, dan kini menuju pendekatan power atau kekuasaan.
Masalah Laut China Selatan bisa jadi akan menjadi tugas berat Kemenlu di masa mendatang. Masalahnya menjadi rumit mengingat Jakarta selalu menyebutkan Beijing adalah mitra dagang besar yang tidak bisa diabaikan.
Sementara tindak-tanduk yang bersifat melecehkan yang dilakukan China terus berulang, tanpa ada tanda-tanda berkurang di masa mendatang.
Baca Juga: Cendekiawan Universitas Paramadina Evaluasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2021: Terkesan Lembek
Indonesia, menurut Harsawaskita, adalah negara yang situasi dan kondisinya berada di tengah, baik secara geografis maupun politis.
Indonesia berhubungan baik dengan kedua kekuatan yang sedang bersaing, Amerika Serikat dan China maupun Rusia dan Uni Eropa.
Secara ekonomi, Indonesia bukan [lagi] negara agraris dan [hampir] menjadi negara industri.
Dengan modalitas “di tengah,” kepemimpinan Indonesia, menggunakan ungkapan John Ikenberry (1996), bukanlah kepemimpinan struktural, yang memiliki sumber daya, modal, teknologi, apalagi kekuatan militer.
Kepemimpinan Indonesia adalah kepemimpinan situasional yang bisa mendorong kerja sama, membangun dan mengarahkan tatanan politik yang menguntungkan semua, baik negara besar maupun negara kecil.
Dengan kepemimpinan yang situasional itulah, Indonesia sebagai presiden G20 akan mampu berperan efektif.
Namun Harsawaskita mengingatkan, kepemimpinan Indonesia akan membawa dua implikasi: arah mata publik internasional dan citra Indonesia.
Inilah tugas berat para pemangku kepentingan, yaitu mengelola ekspektasi kepemimpinan Indonesia, mengatasi permasalahan domestik yang memiliki implikasi internasional, dan mengelola jalannya G20 sesuai dengan kepentingan Indonesia, di tengah pertarungan dua raksasa.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.