JAKARTA, KOMPAS.TV – Indonesia dipandang memiliki sekurangnya tiga agenda besar yang perlu mendapat perhatian khusus menyongsong tahun 2022. Tiga agenda besar itu yaitu ketegangan di Laut China Selatan dan keagresifan China di Laut Natuna Utara; penanganan Covid-19; dan masalah ketenagakerjaan akibat munculnya teknologi-teknologi produksi yang berasal dari Revolusi Industri 4.0.
Dosen dan pengamat hubungan internasional dari FISIP Universitas Katolik Parahyangan Dr. Adelbertus Irawan J. Hartono kepada Kompas TV menulis, perhatian khusus pertama perlu diberikan pada ketegangan antar negara-negara besar di Asia dan Asia Tenggara, dan sikap China yang mulai menampakkan agresivitasnya di Laut Natuna Utara.
Irawan melihat, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dengan China yang makin memanas terjadi dengan episentrum di Asia (Taiwan - China) dan Asia Tenggara (Laut China Selatan).
Saat ini, AS tengah menggalang strategi ‘integrated detterence’ atau penangkalan yang terintegrasi, terutama dalam AUKUS untuk menangani keamanan di Indo-Pasifik.
Menguatnya ‘Perang Dingin Terbatas’ di Asia Tenggara terutama di Laut China Selatan, dipandang Irawan membuka kesempatan bagi Indonesia, dan hal itu perlu dimanfaatkan untuk kepentingan nasional Indonesia. Kerja sama yang ditawarkan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di bidang maritim, pendidikan, korps perdamaian, dipandang Irawan perlu dimanfaatkan dengan baik.
Di lain pihak, walaupun dengan berbagai keterbatasan, ASEAN dipandang masih merupakan forum yang perlu diberdayakan Indonesia dalam upaya meredakan ketegangan antara negara-negara besar di kawasan. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum internasional dan mendorong aspek kerja sama ekonomi dan sosial berlandaskan Free and Open Indo-Pacific (FOIP) atau Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Terkait masalah bilateral, karena menyangkut kedaulatan, Irawan memandang sikap China patut untuk menjadi perhatian dan keprihatinan, terutama sikap China atas aktivitas yang dilakukan Indonesia di Laut Natuna Utara.
China mengeklaim kawasan dimana Indonesia berkegiatan sebagai wilayah 'Nine-Dash Line'-nya walaupun hal ini tidak diakui oleh hukum internasional (UNCLOS-82). Di sini, Irawan memandang Indonesia perlu terus-menerus mendorong sikap dan pendirian berdasarkan UNCLOS-82 dan hukum internasional.
Baca Juga: Indonesia Galang Koalisi 5 Negara ASEAN untuk Sikapi Arogansi China di Laut China Selatan
Agenda besar berikutnya adalah penanganan Covid-19 dilihat dari aspek hubungan internasional, karena penanganan Covid-19 menjadi syarat penting pemulihan ekonomi Indonesia.
Menurut Irawan, kerjasama multilateral yang telah menunjukkan hasilnya dalam mengatasi Covid-19 di Indonesia selama ini, perlu dirawat dan dipelihara, mengingat keterbatasan Indonesia memproduksi vaksin.
AS melalui skema ‘Multilateral Covax Facility’ telah menyumbang 25 juta dosis vaksin Covid-19 kepada Indonesia, dan Indonesia dalam kunjungan Blinken ke Jakarta mengajukan kerja sama Indonesia-AS untuk pengembangan vaksin mRNA.
Secara khusus, Irawan melihat Indonesia perlu terus bersemangat menindaklanjuti skema ‘Global COVID Summit’ bulan September 2021 yang digagas Presiden AS Joe Biden dan ‘Covid-19 Foreign Ministerial Meeting bulan November 2021 yang didorong Blinken.
Sementara pada tingkat domestik, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah ‘kelelahan’ masyarakat yang sulit dibendung lagi setelah pembatasan mobilitas hampir dua tahun. Dosen Hubungan Internasional ini memandang, pendekatan manusiawi yang disertai kesabaran perlu senantiasa dilakukan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya jangka pendek dan panjang Covid-19 dan varian-variannya.
Baca Juga: Gara-gara Omicron AS Catat Rekor Tertinggi Penularan Harian Covid-19
Perhatian khusus ketiga adalah penanganan masalah ketenagakerjaan terkait dengan munculnya teknologi-teknologi produksi yang berasal dari Revolusi Industri 4.0.
Menurut Irawan, walaupun manfaat positif teknologi-teknologi yang bermuara di Revolusi Industri 4.0 telah dirasakan bersama dalam masa Covid-19, yang memungkinkan komunikasi dan produktivitas tetap dapat berlangsung dalam masa sulit, namun dampak negatifnya terhadap lapangan kerja perlu mendapat perhatian khusus.
Disini, menurut Irawan, terjadi paradoks antara efisiensi dan pembukaan lapangan kerja.
Pengurangan lapangan kerja yang terjadi, karenanya jauh lebih besar daripada penambahan yang dihasilkannya, terutama terkait robotisasi/mekanisasi tingkat tinggi di pabrik-pabrik.
Bila tidak tertangani, upaya pemulihan ekonomi nasional melalui PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), dalam perekonomian global yang masih lesu, akan makin terhambat oleh resistensi pekerja.
PEN, menurut Irawan, dapat menjadi landasan bagi upaya pemulihan ekonomi Indonesia, bila fokus pada 5 hal: kesehatan; perlindungan sosial; dukungan pada UKM dan Koperasi; program prioritas; dan insentif usaha, yang kemudian dikembangkan lagi menjadi dukungan pada korporasi non-UKM dan non-BUMN.
Sinergi antar-kementerian dan lembaga serta pihak terkait, untuk mendorong ini, dipandang perlu dipelihara dan ditingkatkan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.