Pada 8 Desember 1991, para pemimpin Rusia, Ukraina dan Belarus bertemu di sebuah pondok pemburu. Di sana, mereka mendeklarasikan bahwa Uni Soviet telah mati dan mengumumkan pembentukan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka.
Dua minggu kemudian, 8 negara Soviet lain bergabung dalam aliansi yang baru terbentuk itu, dan memberi Gorbachev pilihan kejam nan tegas: mundur, atau berhadapan dengan kekerasan jika kukuh mempertahankan Uni Soviet.
Sang pemimpin Soviet itu pun menganalisis dilema tersebut, dan mencatat bahwa upaya memerintahkan penangkapan para pemimpin republik akan berakhir dengan pertumpahan darah. Pun, perpecahan militer dan badan-badan penegak hukum.
“Jika saya memutuskan bergantung pada sebagian struktur bersenjata, hal itu akan memicu konflik politik akut yang penuh darah dan konsekuensi negatif berdampak luas,” tulis Gorbachev.
“Saya tak bisa melakukkan itu: saya akan berhenti menjadi diri sendiri.”
Baca Juga: Rusia Rencanakan Pemakaman Massal Darurat, Diyakini Persiapan untuk Serang Ukraina
Saat para pemimpin Rusia, Belarus dan Ukraina mendeklarasikan kematian Uni Soviet, mereka tak terlalu memperhatikan pada apa yang akan terjadi pada 4 juta personel kuat militer Soviet dan gudang senjata nuklirnya yang masif.
Usai runtuhnya Soviet, butuh waktu tahunan bagi upaya diplomatik yang dipimpin Amerika Serikat (AS) untuk membujuk Ukraina, Belarus dan Kazakhstan untuk menyerahkan senjata nuklir Soviet di wilayah mereka ke Rusia. Proses penyerahan itu akhirnya selesai pada 1996.
“Para pemimpin republik yang mengumumkan akhir Uni Soviet pada Desember 1991, tidak memikirkan seluruh konsekuensi dari apa yang mereka lakukan,” tutur Pavel Palazhchenko, pembantu Gorbachev.
Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mulai memimpin Rusia pada 2012, menggambarkan keruntuhan Soviet sebagai ‘malapetaka geopolitik terbesar abad ke-20’.
“Pecahnya Uni Soviet merupakan keruntuhan Rusia yang bersejarah,” ujar Putin dalam sebuah dokumenter yang ditayangkan bulan ini di televisi nasional Rusia.
Baca Juga: Putin Membela Nabi Muhammad: Menghinanya Bukanlah Kebebasan Berbicara
“Kami kehilangan 40 persen wilayah, kapasitas produksi dan populasi. Kami menjadi sebuah negara yang berbeda. Apa yang telah dibangun selama satu milenium, hilang sebagian besar.”
Kremlin pun bergerak untuk menandai kembali perbatasan Rusia pasca-Soviet pada 2014. Penggulingan pemimpin Ukraina yang akrab dengan Uni Soviet ditanggapi Kremlin dengan mencaplok Semenanjung Krimea dan mendukung pemberontak separatis di timur negara tetangganya itu.
Selama lebih dari perang 7 tahun di timur Ukraina, lebih dari 14.000 orang tewas. Kini ketegangan kian meningkat seiring penumpukan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.