ANKARA, KOMPAS.TV- Pengusaha Turki yang tergabung dalam kelompok TUSAID, memprotes kebijakan suku bunga rendah yang diterapkan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Kebijakan itu membuat mata uang Lira anjlok sementara inflasi terus meroket.
Mengutip dari Bloomberg, Senin (20/12/2021), Kelompok TUSAID meminta Erdogan menerapkan "Aturan Ilmu Ekonomi" yang seharusnya.
"Sebagai akibat dari ketidakstabilan yang kami alami belakangan ini, menjadi jelas bahwa tujuan di bawah program ekonomi yang sedang diupayakan ini tidak akan tercapai," kata perwakilan TUSAID.
Baca Juga: Harga 8 Aset Kripto Terbesar Melemah di Perdagangan Hari ini
"Bahkan ekspor, yang diharapkan mendapat manfaat paling besar dari ini, telah dirugikan di bawah situasi ini." tambahnya.
Sejak September 2021, Bank Sentral Turki telah memangkas suku bunga acuan sebesar 500 basis poin. Lantaran Erdogan berpendapat, suku bunga yang tinggi merupakan tidak baik bagi ekonomi.
Menurut Erdogan, suku bunga rendah akan meningkatkan ekspor, lapangan kerja dan investasi, sambil mencapai pertumbuhan yang tinggi. Namun, kebijakan Erdogan nyatanya membuat ekonomi Turki semakin suram.
Nilai tukar dollar AS terhadap lira kini menyentuh 15,35 per dollar AS. Padahal pada Maret 2021,
masih di level 8,4 per dollar AS. Inflasi tahunan Turki juga sudah menyentuh 20 persen, dan diprediksi akan terus naik hingga tahun baru.
Baca Juga: China Ekspor 1,79 Juta Mobil selama Januari-November 2021
Dengan kondisi itu, Erdogan menaikkan upah pekerja 50 persen untuk meningkatkan daya beli warga. Namun menurut masyarakat Turki, harga-harga masih terlalu mahal untuk di jangkau.
"Sangat sulit untuk mencari nafkah dan membayar tagihan sewa, gas, listrik, dan air dengan 4.250 lira per bulan. Masa depan tidaklah cerah," ujar salah satu pekerja toko roti.
Erdogan juga memecat beberapa pejabat senior di Bank Sentral Turki, yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Diantaranya adalah Gubernur Bank Sentral Turki Naci Agbal, pada Maret lalu. Nacional Agbal merupakan mantan Menteri Keuangan Turki.
Hal itu dilakukan tak lama setelah Agbal kembali menaikkan suku bunga acuan bank sentral. Sosoknya pun dikenal sebagai gubernur yang condong kepada kebijakan kenaikan suku bunga tinggi atau melakukan kebijakan moneter yang ketat.
Baca Juga: Tak Ikut Tax Amnesty Jilid II, Bisa Kena Sanksi 200 Persen
Saat itu Agbal berpendapat, kenaikan suku bunga bertujuan untuk mencegah inflasi Turki yang mendekati 16 persen, serta nilai tukar lira yang terus melemah.
Selama hampir 5 bulan menjabat, Agbal telah menaikkan suku bunga sebesar 875 basis poin menjadi 19 persen dan membuat lira sempat menguat. Kenaikan nilai tukar lira terhadap dolar AS sempat mencapai 15 persen.
Sedangkan suku bunga acuan 19 persen, merupakan tingkat suku bunga tertinggi di antara negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Sejumlah pihak pun memuji kebijakan Agbal karena dinilai menaikan kredibilitas bank sentral.
Baca Juga: Pajak Dianggap Beban, Sri Mulyani: Aturan Perpajakan Berpihak ke Rakyat
Erdogan sudah memecat 3 Gubernur Bank Sentral Turki dalam waktu yang berdekatan. Pada Juli 2019, Erdogan mencopot Murat Centikaya sebagai Gubernur Bank Sentral karena tidak mau menurunkan suku bunga dengan segera sesuai permintaan Erdogan.
Murat Centikaya lalu digantikan oleh Murat Uysal. Namun, dia juga kemudian dipecat Erdogan pada November lalu. Kali ini, penyebabnya kejengkelan Erdogan karena mata uang lira kembali jatuh.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.