KABUL, KOMPAS.TV - Taliban meminta Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain membebaskan aset Afghanistan yang dibekukan setelah kelompok tersebut merebut kekuasaan pada 15 Agustus lalu.
Pemerintahan Afghanistan di bawah Taliban menegaskan, ingin menjalin hubungan baik dengan semua negara dan tidak punya masalah dengan AS.
“Sanksi terhadap Afghanistan tidak akan memberi keuntungan apapun,” ujar Menteri Luar Negeri Afghanistan Amir Khan Muttaqi kepada The Associated Press, Minggu (12/12/2021).
“Membuat Afghanistan tidak stabil atau memiliki pemerintah Afghanistan yang lemah tidak akan menguntungkan siapapun,” imbuh Muttaqi, yang memiliki staf-staf dari pemerintahan sebelumnya dan yang direkrut dari Taliban.
Sementara Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki, Senin (13/12/2021), mengatakan aset tersebut tetap tidak dapat diakses oleh Taliban.
Baca Juga: Ibu di Afghanistan Terpaksa Jual Anak demi Beli Makanan untuk Keluarga, Dampak Krisis Ekonomi
Dia memperkirakan, tidak akan ada perubahan dalam waktu dekat. Hal itu karena uang tersebut kini berkaitan dengan gugatan-gugatan yang dilayangkan oleh para korban serangan 9/11 di AS yang dilakukan oleh Al Qaida yang dulu pernah bersembunyi di Afghanistan pada masa kekuasaan Taliban yang pertama (1996-2001).
“Proses-proses hukum ini tidak dapat diabaikan dan telah menyebabkan penangguhan sementara aliran dana tersebut hingga setidaknya akhir tahun dan mungkin lebih lama,” ungkap Psaki.
Jika pun dapat dibebaskan, Washington, kata Psaki, ingin memastikan uang itu tidak akan menguntungkan Taliban.
Baca Juga: Taliban Kecam PBB karena Belum Akui Dubes Mereka: Bentuk Penolakan Hak Masyarakat Afghanistan
Menurut PBS, setelah Taliban merebut pemerintahan pada 15 Agustus lalu, Washington memblokir akses menuju dana cadangan bank sentral Afghanistan yang berada di AS. Al Jazeera melaporkan aset tersebut senilai hampir 9,5 miliar dolar AS.
Pada 17 Agustus, Uni Eropa menangguhkan dana pembangunan, bantuan jangka panjang yang digunakan untuk menopang proyek-proyek di bidang kesehatan hingga pertanian dan penegakan hukum di Afghanistan.
Jerman dan Finlandia pada hari yang sama juga menghentikan bantuan pembangunan.
Pada 18 Agustus, Dana Moneter Internasional (IMF) menyetop pelepasan dana senilai 400 juta dolar lebih. Langkah itu diikuti oleh Bank Dunia yang juga menghentikan pencairan dana bantuan untuk Afghanistan.
“Pembekuan cadangan nasional dan penghentian semua jenis bantuan untuk negara ini telah menimbulkan kekagetan finansial di negara ini, dan perekonomian hampir kolaps,” kata Ibraheem Bahiss, seorang penasihat tentang Afghanistan di International Crisis Group seperti dilansir PBS.
Baca Juga: Taliban Kecam PBB karena Belum Akui Dubes Mereka: Bentuk Penolakan Hak Masyarakat Afghanistan
Sebelum Taliban kembali berkuasa, Afghanistan telah menghadapi kekeringan, wabah Covid-19, dan pengungsian massal akibat konflik antara Taliban dan pasukan Afghanistan.
Di bawah pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang didukung Barat dan kini telah runtuh, 43 persen produk domestik bruto Afghanistan berasal dari bantuan asing, menurut Bank Dunia.
Sekitar 75 persen belanja publik didanai oleh bantuan asing. Sementara 90 persen warga Afghanistan berpenghasilan kurang dari 2 dolar per hari.
Adapun sebanyak 18,4 juta atau hampir separuh dari penduduk Afghanistan, membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Baca Juga: Museum Nasional Kabul Kembali Dibuka, Tentara Taliban Jadi Pengunjung Paling Antusias
Sumber : The Associated Press/PBS/Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.