Sebaliknya, Inggris menjadi berita utama minggu ini dengan mengumumkan aliansi baru, misalnya oleh lebih dari 40 negara untuk menghapuskan batubara secara bertahap, atau lainnya oleh investor besar dengan 130 triliun dolar AS yang mereka miliki untuk meningkatkan ekonomi hijau, seperti dilansir Straits Times.
Beberapa pegiat iklim khawatir janji setinggi itu mungkin tidak terpenuhi.
"Meskipun pengumuman ini mungkin penting, mereka tidak mengikat secara hukum," kata Mohamed Adow, direktur Power Shift Africa, sebuah think-tank yang berbasis di Kenya.
"Ini tidak boleh menjadi COP yang dijalankan oleh siaran pers."
Dia mengatakan ujian komitmen untuk merombak pertanian menjadi pertanian berkelanjutan adalah seberapa jauh mereka dibangun ke dalam masing-masing rencana aksi iklim formal 45 negara.
Baca Juga: Pada COP26, China Sebut Berhak Jadi Penghasil Polusi Terbesar Dunia: Kami Masih Tahap Pembangunan
Direktur eksekutif Greenpeace Jennifer Morgan mengatakan pengumuman media Inggris sering kali ternyata dilebih-lebihkan.
"Kami sebenarnya ingin menemukan hal-hal untuk dirayakan di sini, tetapi sulit ketika ada kekhawatiran terus-menerus bahwa semua orang akan dipermainkan," katanya dalam sebuah pernyataan.
Matt Williams dari Energy and Climate Intelligence Unit yang berbasis di London mengatakan pangan dan pertanian sejauh ini sebagian besar hilang dari KTT COP26, serta dari rencana iklim 2030 dari banyak negara.
"Kesepakatan mempelopori makanan dan pertanian agar dianggap sebagai bagian serius dari rute menuju emisi nol," tambahnya.
Pernyataan yang dipimpin Inggris itu mencatat pembukaan lahan untuk memproduksi makanan seperti "daging sapi, kedelai, minyak sawit dan kakao adalah pendorong utama deforestasi".
Dikatakan 28 negara yang merupakan konsumen besar komoditas tersebut telah bergabung dengan Roadmap Hutan, Pertanian dan Perdagangan Komoditas yang diluncurkan pada Februari tahun ini.
Untuk melindungi laut planet ini, yang menderita karena penangkapan ikan yang berlebihan dan laut yang memanas, COP26 mengatakan lebih dari 10 negara baru ikut bergabung dan menandatangani tujuan untuk melindungi setidaknya 30 persen lautan pada tahun 2030.
Mereka adalah India, Arab Saudi, Bahrain, Jamaika, St Lucia, Sri Lanka, Qatar, Samoa, Tonga, Gambia dan Georgia.
Sumber : Kompas TV/Straits Times/Thomson Reuters Foundation
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.