Kemudian, kekuasaan Al-Bashir semakin kuat dan ia menunjuk diri sendiri sebagai presiden Sudan pada 1993. Jabatan ini diemban Al-Bashir hingga digulingkan pada 2019.
Pada periode otoriter Al-Bashir, pemerintahannya sempat menghadapi beberapa kali percobaan kudeta sebelum 2019. Di antaranya terjadi pada 2004 dan 2012.
Pada era modern, Sudan pun dilanda kekerasan perang sipil antara wilayah utara dan selatan. Menurut BBC, perang sipil Sudan telah menelan korban sekitar 1,5 juta orang.
Perang sipil ini kemudian berujung pada perpecahan Sudan pembentukan Sudan Selatan pada Juli 2011.
Masa kepresidenan Al-Bashir yang hampir berlalu tiga dekade mulai goyah pada 2018. Saat itu, ia ditentang demonstrasi besar-besaran.
Demonstran memprotes pemburukan ekonomi dan naiknya biaya hidup.
Protes ini bertahan selama berbulan-bulan sejak Desember 2018. Kerusuhan membuat Presiden Al-Bashir mendeklarasikan situasi darurat pertama di Sudan dalam kurun 20 tahun.
Pada April 2019, militer Sudan menggulingkan Presiden Al-Bashir. Wakil Presiden sekaligus Menteri Pertahanan Sudan Letjen Ahmed Awad Ibn Nauf mendeklarasikan diri sebagai kepala negara de facto.
Letjen Ahmed kemudian mundur dan menunjuk Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan sebagai pemimpin pemerintahan.
Pemerintahan militer kemudian mau berbagi kekuasaan dengan pihak sipil. Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan sejumlah pejabat tinggi pun dipilih untuk mewakili sipil dalam dewan pemerintahan transisi.
Baca Juga: Kudeta Militer Sudan Diprotes Massa, 12 Demonstran Terluka akibat Bentrok dengan Aparat
Pihak sipil dan militer kemudian menyetuji Deklarasi Konstitusi pada Agustus 2019. Deklarasi ini memuat pembagian kekuasaaan dalam pemerintahan sementara dan amanat pemilihan umum dalam waktu tiga tahun.
Aksi sepihak militer yang membubarkan pemerintahan sipil ramai diprotes. Jalelah Ahmed, aktivis Sudan yang berada di Washington, Amerika Serikat (AS) mengaku “patah hati” karena peristiwa kudeta.
“Kami sangat kecewa pagi ini. Kami patah hati melihat (militer) memutuskan untuk melakukan cara seperti itu,” kata Ahmed kepada Al Jazeera.
“Tak ada alasan untuk membubarkan dewan transisional yang ditugasi untuk mengawasi (penerapan) konstitusi dan melindungi rakyat serta demokrasi Sudan,” imbuhnya.
Setelah kudeta, militer Sudan memberlakukan situasi darurat nasional.
Sementara itu, pihak oposisi Sudan menyerukan pembangkangan sipil.
Protes masif menentang kudeta militer dilaporkan terjadi di Sudan. Komunitas internasional pun mendesak militer Sudan membatalkan kudeta.
Kudeta militer dianggap mengganggu transisi demokrasi yang sedang dilalui Sudan. Nasib demokrasi di negara yang melalui kediktatoran militer dan perang sipil selama puluhan tahun itu pun dikhawatirkan.
Baca Juga: Kudeta Militer Sudan Dikecam Dunia, PBB hingga China Berikan Respons
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.