Kompas TV internasional kompas dunia

Mengulik Sikap Keras ASEAN Depak Pemimpin Junta Militer Myanmar dari KTT

Kompas.tv - 19 Oktober 2021, 14:51 WIB
mengulik-sikap-keras-asean-depak-pemimpin-junta-militer-myanmar-dari-ktt
Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu, 27 Maret 2021. (Sumber: AP Photo)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Desy Afrianti

Tekanan internasional meningkat terhadap ASEAN untuk mengambil garis lebih keras terhadap kegagalan Myanmar menindaklanjuti kesepakatan mengakhiri kekerasan, memungkinkan akses kemanusiaan dan memulai dialog dengan lawan-lawan junta militer.

Sejak menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi, junta militer Myanmar membunuh lebih dari 1.000 orang dan menangkap ribuan orang dalam upaya untuk menghancurkan perlawanan, kata kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.

Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Senin (18/10/2021), Jenderal Min Aung Hlaing membuat pernyataan pertamanya sejak penghinaan itu. 

Jenderal Min Aung Hlaing membela tindakan militer tersebut, dengan mengatakan  pihaknya berusaha memulihkan ketertiban dan ASEAN harus memperhatikan kekerasan yang dilakukan oleh lawan-lawannya, ujardia sebelum mengumumkan amnesti bagi ribuan tahanan politik.

Selama beberapa dekade, militer Myanmar menjadi masalah pelik ASEAN, karena junta sebelumnya juga dikecam karena brutal menghancurkan gerakan pro-demokrasi.

Keputusan hari Jumat itu diambil setelah gagalnya upaya diplomasi berbulan-bulan terkait rencana kunjungan utusan khusus ASEAN Erywan Yusof ke Myanmar yang dalam agendanya termasuk menemui pemimpin terguling, Aung San Suu Kyi. 

Junta militer menolak permintaan tersebut dengan alasan Suu Kyi sedang menghadapi tuduhan kriminal, selain itu kunjungan tersebut akan melanggar undang-undang kerahasiaan negara.

Baca Juga: Pemimpin Junta Militer Myanmar Marah Tak Diundang dalam KTT ASEAN, Tegaskan Keberatannya

Unjuk rasa di Myanmar bulan Mei 2021, menggemakan ajakan Revolusi Musim Semi di negara itu (Sumber: KACHINWAVES/AFP via France 24)

Indonesia, Malaysia dan Singapura pertama kali melontarkan gagasan untuk mengesampingkan pemimpin junta pada pertemuan menteri luar negeri ASEAN bulan ini, kata diplomat regional itu, sebagai taktik untuk mendapatkan akses ke Suu Kyi, yang ditahan di lokasi yang tidak diketahui.

Dua sumber mengatakan ada kekhawatiran bahwa kehadiran Jenderal Min Aung Hlaing akan menghalangi para pemimpin global lainnya untuk menghadiri KTT Asia Timur yang lebih besar, yang diadakan beberapa hari setelah KTT ASEAN.

Pekan lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres menunda pertemuan online dengan para menteri luar negeri ASEAN untuk menghindari berada di ruang online yang sama dengan perwakilan militer Myanmar.

“Ancaman untuk melepaskan diri tidak dibuat secara eksplisit, tetapi ada kecemasan di pihak negara-negara anggota bahwa hal itu akan mulai mempengaruhi kredibilitas ASEAN dalam arti yang lebih luas,” kata Aaron Connelly, seorang peneliti Asia Tenggara di Institut Internasional untuk Studi Strategis.

Para pemimpin regional pada hari Jumat membahas permintaan untuk menghadiri pertemuan puncak dari pemerintah sipil paralel Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional, lawan dari junta militer, yang menurut dua orang sumber telah melakukan pembicaraan diam-diam di antaranya dilaporkan dengan Indonesia dan beberapa negara lain, tetapi terhenti.

Pemilihan "perwakilan non-politik" sekarang jatuh ke junta, yang kemungkinan akan memilih seseorang yang dianggap relatif netral tetapi terikat dengan rezim, kata tiga orang sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Namun keputusan untuk mengesampingkan Jenderal Min Aung Hlaing merupakan "sanksi paling berat yang pernah diberikan oleh organisasi tersebut kepada negara anggota ASEAN," kata Connelly.

Orang-orang di seluruh wilayah telah "kehilangan kepercayaan dan harapan pada mekanisme ASEAN untuk melindungi anggota komunitasnya sendiri," kata Fuadi Pitsuwan, seorang peneliti di Sekolah Kebijakan Publik Universitas Chiang Mai.

Mungkin sudah waktunya untuk "mengevaluasi kembali" prinsip non-interferensi, tambah Fuadi. "Mari kita lihat apakah ini akan memulai putaran lain dari musyawarah eksistensial ini dan apakah itu akan berakhir secara berbeda."




Sumber : Kompas TV/Straits Times




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x