Kembali ke Washington, karir dan pangkatnya dengan cepat meroket, termasuk menjadi penasihat keamanan nasional, di bawah Ronald Reagan, dan sebagai Kepala Staf Gabungan di bawah George H.W. Bush dan Bill Clinton tahun 1989-1993.
Pengalaman Powell di Vietnam sebagai seorang prajurit muda menuntunnya untuk mengembangkan apa yang disebut "Doktrin Powell", yang mengatakan jika Amerika Serikat harus campur tangan dalam konflik di negara asing, Amerika Serikat harus mengerahkan kekuatan luar biasa berdasarkan tujuan politik yang jelas.
Bagi banyak orang Amerika, dia adalah wajah publik Perang Teluk 1991 melawan Irak.
Baca Juga: Presiden Iran Ramalkan Masa Depan Donald Trump, Bakal Digantung Seperti Saddam Hussein
Powell awalnya ragu-ragu untuk pergi ke negara itu, tetapi reputasinya melambung setelah serangan kilat yang mengusir pasukan Saddam Hussein dari Kuwait.
Untuk sementara, dia bahkan mempertimbangkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Tetapi setelah pensiun dari tentara pada 1993, Powell mengabdikan dirinya untuk bekerja atas nama anak-anak muda yang kurang beruntung sebagai ketua America's Promise, sebuah kelompok advokasi pemuda.
Untuk sementara, dia menangkis pertanyaan baru tentang keinginannya untuk jabatan publik, sampai George W. Bush datang memanggilnya untuk memimpin Departemen Luar Negeri sebagai menteri luar negeri ke-65.
"Saya berharap ini akan memberi inspirasi bagi anak muda Afrika-Amerika," kata Powell dalam pidato penerimaan nominasi pada 2000, mengatakan kepada mereka: "Tidak ada batasan bagi Anda."
Empat tahun di Foggy Bottom atau kantor departemen luar negeri AS, 2001-2004 selamanya ditandai dengan keputusan untuk menyerang Irak pada 2003.
Sebelumnya, Powell mencari kebijakan yang lebih hati-hati, berjuang untuk mendapat angin melawan para elang penyuka perang di kabinet Bush sambil mencoba mempengaruhi sekutu untuk mendapatkan dukungan mereka, namun semuanya sia-sia.
Dia membela keputusannya mendukung invasi ke Irak pada 2003 sampai akhir masa jabatannya, dan telah menanggung beban kritik dan hujatan sejak itu, karena argumentasinya di Dewan Keamanan PBB bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal ternyata bohong belaka.
"Saya tahu saya tidak punya pilihan," kata Powell kepada The New York Times pada Juli 2020.
"Pilihan apa yang saya miliki? Dia presidennya."
Powell dengan bebas mengakui pandangan sosial liberalnya membuatnya menjadi konco yang canggung bagi banyak tokoh Partai Republik, meskipun partai itu sering dengan senang hati mengangkatnya sebagai contoh inklusivitas partai tersebut.
"Saya masih seorang Republikan. Dan saya pikir Partai Republik membutuhkan saya lebih dari Partai Demokrat membutuhkan saya," katanya kepada MSNBC pada 2014.
"Anda bisa menjadi seorang Republikan dan masih merasa kuat tentang isu-isu seperti imigrasi dan peningkatan sistem pendidikan kita atau mencari solusi masalah sosial yang ada di masyarakat dan negara kita."
Tapi sejak 2008, Powell menyatakan dukungan ke partai Demokrat dengan dua kali mendukung Barack Obama, dan kemudian Hillary Clinton lalu Joe Biden.
Powell mendapatkan sejumlah penghargaan sipil, termasuk Presidential Medal of Freedom, dua kali, yaitu dari Bush Senior dan Clinton.
Dia menikahi istrinya Alma pada 1962 dan dikaruniai tiga anak, Michael, Linda dan Annemarie.
Sumber : Kompas TV/France24/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.